REKONSTRUKSI KONSEP NUSYÛZ DALAM PEMIKIRAN FIKIH FEMINIS KEADILAN

The classical fiqh clerics, when defining the word “al-rijâlu qawwâm...” in surah al-Nisa’ verses 34-35, interpreted it as “a husband who becomes a family leader”. From this interpretation, a wife is obliged to obey her husband and the nusyûz act applies only for the wives. In contrast, according to feminist fiqh views, such as Muhammad Syahrûr and Musdah Mulia, Nusyûz is an act of defiance of God’s commands. Therefore hurting the heart of a wife or husband, both through speech and deed, is nusyûz (disobedient). This article compares the views of classical scholars with modern thinkers about the problem of nusyûz in the family. This study concludes that modern thinking is more in line with the principles of equality and justice taught in the Qur’an. Thus, nusyûz can not only happen to the wife but also can be applied to the husband.menafsirkan kata “ar-rijal qawwam ..” pada surah an-Nisa’ ayat 34-35 sebagai suami yang jadi pemimpin (pelindung), yang memperbaiki kondisi keluarga, sehingga fungsi istri hanya wajib taat kepada suami. Sedangkan nusyûz menurut pandangan fiqh feminis, seperti Muhammad Syahrur dan Musdah Mulia, semestinya dikembalikan kepada makna akar kata semula, di mana al-nasyaz secara lughawi adalah membangkang terhadap perintah Tuhan, jadi bukan terhadap suami. Oleh karena itu menyakiti hati istri atau suami, baik melalui ucapan maupun perbuatan adalah nusyûz. Kalangan feminis memandang bahwa nusyûz tidaklah berkaitan sama sekali baik dengan kesalehan atau ketidaksalehan seperti dalam mendirikan salat dan puasa, maupun dengan pelanggaran etika dan kedurhakaan yang mengharuskannya diberi pendidikan dan pukulan tangan, sebagaimana dikemukakan ulama-ulama klasik.Setelah dianalisis lebih dalam pandangan fiqh feminis ini sejalan dengan prinsip kesetaraan dan keadilan yang diajarkan dalam al-Qur’an yang menggariskan bahwa nusyûz bukan hanya dapat terjadi pada istri tetapi juga dapat dilakukan oleh pihak suami. Konsekuensinya, suami yang nusyûz juga harus diberi sanksi. Memang dalam al-Qur’an diajarkan bahwa terhadap suami yang nusyûz sebaiknya dilakukan negosiasi oleh istri sehingga terjadi perdamaian (islah) di antara keduanya (Q.S. An-Nisa’: 128). Namun jika islah di antara keduanya tidak tercapai, maka kepada suami yang nusyûz tetap dapat dikenakan sanksi ta’zir melalui putusan pengadilan. Bantuk hukuman atas suami yang nusyûz tersebut diserahkan kepada ijtihad hakim yang memutuskannya, dapat berupa hukuman fisik maupun non fisik seperti sanksi finansial.Pandangan fiqh feminis di atas tentu membawa implikasi kepada pembaharuan hukum yang lebih menciptakan kemaslahatan, baik UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hukum perkawinan dalam dua produk hukum tersebut masih melekatkan perbuatan nusyuz hanya kepada perempuan dan sanksinya pun juga lebih ditimpakan kepada perempuan. Oleh karena itu harus dilakukan revisi khususnya yang berkenaan dengan nusyûz, disesuaikan dengan kondisi kekinian dan kemaslahatan serta keadilan bagi semua pihak