ASUHAN KEPERAWATAN SCHIZOPHRENIA Pada NY. Edi WISMA UTARI RSJ Prof. dr. SOEROJO MAGELANG

Era modern seperti saat ini tuntutan kehidupan yang semakin sulit dan kompleks menyebabkan semakin bertambahnya stressor psikososial. Salah satunya adalah perkembangan teknologi yang begitu pesat, permasalahan ekonomi serta budaya menuntun seseorang untuk selalu bisa mengikuti perkembangan yang ada, hal ini menyebabkan manusia tidak dapat menghindari tekanan-tekanan hidup yang mereka alami. Kondisi seperti ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas maupun kuantitas penyakit mental emosional manusia. Kondisi ini dapat menyebabkan timbulnya gangguan jiwa dalam tingkat ringan sampai berat yang memerlukan penanganan khusus baik di rumah maupun di rumah sakit.Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat emosional, psikologi, dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan. Seseorang dianggap sehat jika mereka mampu memainkan peran dalam masyarakat dan berperilaku adatif, sebaliknya seseorang dianggap sakit jika gagal memainkan peran dan perilakunya tidak pantas, salah satunya adalah schizophrenia (Videback, 2008). Schizophrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu. Schizophrenia merupakanproses suatu penyakit dengan berbagai gejala seperti penyaki kanker (Videbeck, 2008). Schizophrenia merupakan penyakit komplek yang terdiri dari berbagai gejala misalnya gangguan afek kognitif dan emosi (Kneils, Wilson, & Trigoboff, 2004).Berdasarkan Riskesdas tahun 2013, kejadian gangguan jiwa di Indonesia 0,17 persen dari jumlah seluruh penduduk, sedangkan di Jawa Tengah sekitar 0,23 persen dari jumlah penduduk. Angka kejadian terkait schizophrenia yang didapat dari bagian Litbang di RSJ. Prof. Dr. Soeroyo Magelang pada tahun 2014 sebanyak 1852 orang untuk pasien rawat inap.Gejala-gejala yang dialami pasien dengan schizophrenia dapat menimbulkan masalah keperawatan. Pandangan negatif atau stigma di masyarakat bahwa schizophrenia merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak rasional ataupun supranatural. Stigma yang demikian menyebabkan pasien dengan schizophrenia mendapatkan perlakuan yang deskriminatif. Masyarakat beranggapan apabila salah satu anggota keluarga menderita schizophrenia merupakan aib bagi keluarga. Pasien schizophrenia seringkali disembunyikan dan dikucilkan bahkan mendapatkan ejekan dari masyarakat (Hawari, 2012). Pasien schizophrenia di rumah sakit mengalami beberapa masalah trumatik seperti kehilangan pekerjaan, jauh dari keluarga, kehilangan teman-temannya, dan pasien tidak dapat menjalankan perannya seperti sebelum sakit. Dampak dari masalah traumatik dapat mempengaruhi persepsi individu akan kemampuan dirinya sehingga dapat mengganggu harga diri pasien schizophrenia (Keliat &Akemat, 2010). Pasien schizophreniamempunyai mekanisme coping yang digunakan tidak efektif serta tidak mendapatkan dukungan yang adekuat dari keluarga dan orang terdekat maka pasien akan mempunyai masalah gangguan konsep diri serta selalu berfikir negatif terhadap dirinya dan merasa tidak berguna, selalu merasa gagal (Direja, 2011). Berdasarkan rekam medik bulan Januari sampai bulan Desember 2014 di bangsal Kresna (P10) terdapat 490 pasien schizophrenia sedangkan 53 pasien mengalami masalah keperawatan harga diri rendah.Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan penulis di bangsal Kresna pada tangggal 19 Januari 2015, ditemukan fakta empirik tindakan keperawatan dengan masalah harga diri rendah tidak dilakukan identifikasi terkait kemampuan positif yang dimiliki pasien. Hal tersebut tidak sesuai dengan pendapat Yosep (2010) tentang tindakan keperawatan untuk pasien harga rendah diri diantaranya mendiskusikan kemampuan positif yang dimiliki pasien, membantu mengembangkan kemampuan positif yang pasien miliki serta mendukung kegiatan yang pasien lakukan, sedangkan pendapat Fitria (2009) yang mengemukakan bahwa penanganan pada pasien dengan masalah harga diri rendah lebih berfokus pada kemampuan yang dimiliki pasien dan pengembangan kemampuan tersebut untuk meningkatkan rasa percaya dirinya. Selain itu ditemukan juga masalah dalam pelaksanaan terapi aktivitas kelompok (TAK) yaitu melibatkan semua pasien dengan diagnosa yang berbeda-beda menjadi satu kelompok kegiatan TAK, padahal menurut Keliat & Akemat (2009), seharusnya kelompok dibagi sesuai dengan kebutuhan pasiendan TAK yang paling tepat untuk pasien HDR adalah TAK stimulasi persepsi yang bertujuan meningkatkan aspek positif diri.Apabila masalah harga diri rendah tersebut tidak ditangani tanpa adanya pendiskusian kemampuan positif pasien terlebih dahulu serta pelaksanaan TAK yang bersamaan antara pasien dengan diagnosa yang berbeda akan berdampak pasien akan lebih suka menyendiri, melamun, tidak mau berinteraksi dengan teman lain ataupun lingkungan sekitarnya lama-kelamaan pasien akan mengalami isolasi sosial yang nantinya akan berdampak menjadi risiko bunuh diri. Dampak-dampak tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Fitria (2009), dampak yang timbul pada masalah harga diri rendah bila penanganannya tidak dilakukan secara sistematis yaitu pasien tidak mempunyai kemauan untuk bergul dengan orang lain maupun lingkungan sekitar ( menarik diri atau isolasi sosial ), isolasi sosial akan membuat pasien asyik dengan dunia dan pikirannya sendiri kemudian menjadi risiko perilaku kekerasan.Solusi yang ditawarkan penulis untuk menangani masalah harga diri rendah yaitu terapi individual dan terapi aktivitas kelompok. Terapi individual atau interpersonal yang lebih menekankan perpepsi dan perilaku, pasien sangat efektif dalam meningkatkan kemampuan pada pasien, hubungan kepercayaan antara perawat dan pasien juga sangat penting sehingga perawat dapat memahami fokus masalah yang dialami pasien (Purwaningsih dan Karlina, 2010). Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi diharapkan dapat mengembangkan kemampuan yang dimiliki pasien sehingga pasien akan merasa percaya diri kembali (Yosep, 2010)