Prinsip Hukum Kedudukan Perempuan Dalam Hukum\ud Waris Adat Masyarakat Banjar

Hukum adat pada hakikatnya merupakan hukum yang terbentuk dan mengikat\ud bagi masyarakat adat, keberadaannya tumbuh dan berkembang seiring dengan\ud tumbuh kembang masyarakat adat tersebut, oleh karena itu hakikinya hukum adat\ud merupakan hukum yang tidak tertulis. Oleh karena sifatnya yang tidak tertulis\ud tersebut, maka hukum adat mempunyai tingkat internalisasi yang dalam bagi\ud masyarakat adat, sehingga tingkat kepatuhan atau ketaatannya sangat tinggi.\ud Prinsip-Prinsip hukum kedudukan perempuan dalam hukum waris adat\ud masyarakat Banjar terlihat dalam proses pembagian harta warisan pada lembaga\ud “damai” dengan cara islah tersebut, yaitu :\ud a. perempuan diakui kedudukannya sebagai ahli waris, karena didasarkan kepada\ud ketentuan faraid (hukum waris Islam), baik atas dasar petuah tuan guru\ud ataupun atas pengetahuan ahli waris;\ud b. akses perempuan dalam lembaga “bedamai” sangat terbuka dan tidak\ud dibedakan dengan ahli waris laki-laki, bahkan dalam “harta parapantangan”\ud aksesnya lebih besar daripada pihak laki-laki.\ud c. besaran bagian masing-masing ahli waris tidak didasarkan kepada gender,\ud melainkan didasarkan kepada kondisi objektif tentang harta peninggalan dan\ud kontribusi ahli waris terhadap pewaris. Oleh karena itu besarnya bagian\ud perempuan bersifat relative, yaitu bisa lebih besar dari laki-laki, bisa lebih\ud kecil dari laki-laki dan atau bisa sama dengan laki-laki.\ud d. pada lembaga “damai” dengan cara islah ini dikembangkan prinsip-prinsip\ud yang menjadi jiwa hukum (legal spirit) untuk melakukan pembagianwarisan,\ud yaitu prinsip Ketuhanan, Prinsip Kemanfaatan dan prinsip keseimbangan