Pengembangan sumber daya manusia dan kelembagaan dalam rangka memperkuat sistem kemitraan usaha pada pengembangan agribisnis di daerah transmigrasistudi kasus pti-trans sei buatan, propinsi riau

Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1972 tentang Pokok-Pokok Ketentuan Transmigrasi, ada dua jenis penyelenggaraan transmigrasi yang dibedakan dari pembiayaannya, yaitu Transmigrasi Umum dan Transmigrasi Swakarsa. Penyelenggaraan transmigrasi sampai dengan Pelita n didominasi oleh jenis Transmigrasi Umum yang seluruh pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah. Dengan tujuan utamanya untuk mengembangkan usahatani tanaman pangan dalam upaya ikut melestarikan swasembada pangan, khususnya beras. Namun sejak Repelita III, karena dana Pemerintah terbatas, dan jumlah transmigran yang harus dipindahkan semakin besar, maka mulai diselenggarakan Transmigrasi Swakarsa Berbantuan yang pembiayaannya ditanggung bersama oleh Pemerintah. Swasta, dan para Transmigran. Salah satu pola Transmigrasi Swakarsa Berbantuan yang dikembangkan yaitu pola Perusahaan Inti Rakyat yang dikaitkan dengan program Transmigrasi (PIR-Trans). Pengembangan perkebunan melalui PIR-Trans pada dasarnya merupakan salah satu bentuk pengembangan agribisnis di daerah transmigrasi, karena kegiatannya melibatkan pihak pemerintah. perbankan. swasta, dan para transmigran. Titik tolak pemikiran pada Organisasi PIR-Trans cukup sederhana, yaitu mengkaitkan inti yang menguasai modal, manajemen, teknologi, dan akses kepada pasar, dengan petani plasma yang tidak memilikinya, dimana inti harus mampu mengalihkan berbagai kelebihan tersebut kepada petani kecil. Idealnya organisasi PIR-Trans harus menciptakan kondisi saling ketergantungan yang positif dimana setiap pihak dalam kerjasama tersebut tidak dalam posisi mengeksploitasi pihak yang lain. Kerjasama antara kedua pihak yang terlibat harus seimbang dan harmonis dimana masing-masing pihak merasa memerlukan. Landasan Operasional pengembangan pola PIR-Trans diatur dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebuna dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang dikaitkan dengan program Transmigrasi. Sejak diberlakukannya Inpres Nomor 1 Tahun 1986, kredit PIR-Trans yang telah disetujui sebanyak 51 proyek, dengan luas kebun yang telah ditanami seluas 494.160 Ha, yaitu kebun inti seluas 191.619 Ha, dan kebun plasma seluas 685.779 Ha diperuntukkan bagi 247.080 Kepala Keluarga petani plasma. Jumlah kredit pemerintah yang telah disetujui sebesar Rp.3,7 trilyun, yaitu sebesar Rp.1 ,5 triliun untuk Inti dan sebesar Rp.2,2 triliun untuk Plasma, sampai saat ini fasilitas kredit untuk ptasma tersebut baru terealisasikan sebesar Rp.1,1 triliun atau sebesar 50%. Sedangkan dari 51 proyek yang sudah berjalan sampai dengan bulan Mei 1995, baru terdapat 11 proyek yang sudah memasuki tahap alih kebun, dengan luas kebun 38.880 Ha setara dengan 19.440 Kepala Keluarga petani plasma yang nilainya sebesar Rp.184,1 milyar. Posisi sampai dengan bulan Maret 1996, dari 51 proyek tersebut yang terbesar jumlahnya berada di Propinsi Riau yaitu sebanyak 13 proyek, yang melibatkan plasma sebanyak 53.660 Kepala Keluarga transmigran. Dari 13 proyek di Propinsi Riau PT.Inti Indo Sawit Subur adalah yang paling besar dengan melibatkan plasma sebanyak 12.260 Kepala Keluarga transmigran, dan sampai dengan tahun anggaran 1995/1996 tetah berhasil menempatkan Plasma sebanyak 5.593 Kepala Keluarga yang tersebar di 11 Unit Pemukiman Transmigrasi. Mengingat Inpres Nomor 1 Tahun 1986 telah berumur 10 tahun, dan sebagian besar telah dilaksanakan alih kebun, maka dipandang perlu untuk mengadakan evaluasi, sampai sejauh mana konsep PIR-Trans dapat terlaksana di lapangan, terutama dari aspek pengembangan sumberdaya manusia, kelembagaan kelompok tani dan KUD, dalam meningkatkan mekanisme sistem kemitraan usaha pada pasca alih kebun dengan studi kasus di lokasi PIR-Trans Sei Buatan Propinsi Riau. Kondisi sekarang posisi antara Inti dan Plasma dalam hubungan kemitraan usaha adalah Inti mempunyai kekuatan dalam faktor modal, manajemen, teknologi dan akses pasar, sedangkan Plasma sebaliknya mempunyai kekuatan dalam hal kebun plasma dan tenaga kerja. Selain itu kualitas sumberdaya manusia yang mengelola Inti lebih baik apabila dibandingkan dengan kualitas sumberdaya manusia Plasma yang masih awam dengan kredit kebun. Dari pengalaman empirik di lapangan disinyalir adanya permasalahan serius yang dapat mengancam kelangsungan hubungan Inti - Plasma. Masalah kemitraan kembali menghangat setelah Presiden Soeharto secara khusus mencanangkan Gerakan Kimitraan Usaha Nasional di Istana Negara pertengahan Bulan Mei tahun 1996. Tampaknya ada suatu kesadaran barn setelah rampungnya era Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJPT I) dan kini memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (PJPT II), bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi temyata belum cukup tanpa diimbangi oleh distribusi hasil pembangunan secara merata. Oleh karena itu pemerintah menganggap sudah saatnya bagi para pengusaha besar untuk ikut memperhatikan kalangan pengusaha kecil yang selama ini belum sempat menikmati hasil kemajuan ekonomi. Dengan demikian disinilah pentingnya pola kemitraan, yaitu suatu bentuk kerjasama yang saling menguntungkan dimana para pengusaha kecil diberi kesempatan dan peluang untuk berkembang, tanpa hams mengurangi keberhasilan yang sudah dicapai oleh pengusaha besar. Walaupun masalah kemitraan ini barn dicanangkan menjelang pertengahan tahun ini, namun pada kenyataannya masalah kemitraan sudah banyak dirintis oleh berbagai pihak, baik yang dilakukan oleh para pengusaha besar, maupun pibak perbankan. Bahkan sejak tahun 1973, yaitu ketika pemerintah memutuskan untuk menggalakkan program-program pemerataan disamping pertumbuhan, Departemen Pertanian telah memperkenalkan pola barn dalam pengembangan komoditi ekspor yaitu dengan menugaskan perkebunan-perkebunan besar untuk membantu mengembangkan perkebunan rakyat dalam bentuk plasma, yang berada disekitar inti. Pernmusan masalah dari penelitian ini adalah masih rendahnya kemampuan petani plasma, kelembagaan petani belum berfungsi dengan baik, serta posisi tawarmenawar kemitraan usaha antara Inti-Plasma belum sarna kuat. Ruang lingkup penelitian dibatasi pada aspek pengembangan sumberdaya manusia plasma, meliputi proses dari posisi tergantung, tidak tergantung, dan saling tergantung antara Inti dengan Plasma; pengembangan kelembagaan keJompok tani dan KUD, yang meliputi batasan kewenangan, aturan permainan, aturan perwakilan; dan kemitraan usaha yang dicirikan dengan terjadinya posisi tawar yang sama kuat anlara Inti dan Plasma. Oleh karena itu diperlukan suatu proses untuk mengembangkan kualilas sumberdaya manusia dan kelembagaan dari pihak plasma. Adapun faktor-faklor yang perlu di kembangkan antara lain yang mencakup pengembangan sumberdaya manusia meliputi; mengkondisikan plasma dari semula tergantung, [erus menjadi tidak tergantung sampai ke saling tergantung; yang mencakup kelembagaan meliputi; a) "batasan kewenangan", b) "aturan permainan", dan c) "aturan perwakilan"; sedangkan yang mencakup penggalangan kegiatan secara kolektif meliputi pembagian resiko dan keuntungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan faktor-faktor apa saja yang berperan dari belum lancarnya hubungan Inti-Plasma dari aspek pengernbangan sumberdaya manusia, kelembagaan dan sistem kemitraan usaha. Metodologi penelitian, didisain dengan menganalisis data kualitatif secara deskriptif dengan tabulasi sederhana tanpa menggunakan pengujian statistika. Analisis diarahkan berdasarkan kerangka pemikiran yang meliputi kekuatan dan kelemahan kemitraan antara Inti dengan Plasma, proses interaksi yang menyangkut pengembangan sumberdaya manusia dan kelembagaan, keluaran sebagai hasil dari peningkatan system kemitraan usaha, serta kinerja yang merupakan manfaat yang diperoleh oleh inti dan plasma. Data primer hasil wawancara dengan responden dianalisis dengan tabulasi silang menggunakan uji korelasi Pearson dan Spearman untuk melihat kecenderungan signiflkansinya secara statistik non parametrik antara berbagai variabel sumberdaya manusia, kelembagaan, dan masukan-keluaran kemitraan inti-plasma dalam realisasi ditingkat petani. Kondisi petani dan pengembangan sumberdaya manusia sebelum dan sesudah bertransmigrasi di tabulasi silang dengan berbagai variabel keluaran dari komponen subsidi, komponen kredit, hak, kewajiban, alokasi tenaga untuk kebun, hasil penanaman padi, hasH kelapa sawit, rendemen, harga, sortir, penimbangan, dan masa pra alihkebun. Hasil pengolahan data dikelompokkan kedalam dua kelompok yang pertama yaitu data kualitatif mengenai pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan kegiatan secara kolektif, pengembangan kelembagaan, aturan permainan, dan aturan perwakilan. Sedangkan kelompok kedua yaitu variabel-variabel yang mempengaruhi terhadap pengembangan sumberdaya manusia, kelembagaan dan kemitraan usaha ditingkat plasma antara lain; umur, pendidikan formal, sUku, asal pemberangkatan, pekerjaan plasma sebelum di transmigrasikan, pekerjaan plasma di lokasi transmigrasi, dan alamat yang dihubungkan dengan subsidi, kredit, hak, kewajiban, tenaga kerja yang dialokasikan untuk kebun sawit, penanaman padi, hasil sawit, latihan, rendemen, harga, penimbangan, sortir, CPO, dan kelompok tani. Berdasarkan hasil analisis baik deskriptif maupun anal isis tabulasi silang, penyelenggaraan transmigrasi poJa Pir-Trans di Sei Buatan, khususnya di UPT VII sampai dengan UPT X, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut I. Tingkat pendidikan responden petani plasma 69,7% berpendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, 45,5% diantaranya hanya tamatan Sekolah Dasar, sedangkan 30,3% berpendidikan SLTP atau lebih tinggi. 2. Secara umum petani plasma yang mempunyai pendidikan formal setingkat SLTP dan yang lebih tinggi serta yang telah mendapatkan pelatihan dan berasal dari suku Jawa-Sunda ternyata mempunyai pemabaman yang baik terhadap hak dankewajiban mereka. 3. Secara umum petani plasma yang berlatar belakang sebagai petani dan buruh tani kurang memahami terhadap hak dan kewajiannya. Kondisi diatas berpengaruh terhadap keseriusan mereka mengelola kebun kelapa sawit maupun lahan pekarangannya. 4. Pelatihan yang diperoleh petani plasma baik di daerah asal maupun di lokasi transmigrasi ternyata tidak ada korelasinya dengan pemahaman mengenai rendemen, harga sawit yang ditetapkan Inti, cara menimbang, menyortir maupun terhadap pengetahuan tentang menghitung CPO. Kondisi tersebut menyebabkan posisi petani plasma menjadi lemah dalam posisi tawar-menawar dengan pihak Inti. 5. Dari penelitian ini diperoleh data bahwa sebanyak 63,6% petani plasma tidak memperoleh perbekalan pelatihan mengenai budidaya perkebunan ataupun materi lainnya, sedangkan yang 36,4% petani plasma hanya memperoleh pelatihan berkisar antara 2-40 hari, dengan materi yang beraneka ragam mulai dari etika transmigrasi, budidaya tanaman pangan, budidaya tanaman perkebunan, maupun tentang perkoperasian. 6. Terdapat produktivitas kebun kelapa sawit yang cukup bervariasi antara petani plasma, yang diakibatkan karena kondisi lahan, dan jumlah pohon yang diterima berbeda-beda, akibatnya hanya 17,2% saja yang telah mencapai target produksi sebesar 14 tonl2Ha/tahun. 7. Hasil penelitian dari 33 responden petani plasma menunjukkan bahwa 51,1 % memiliki HOK 54-108 HOK per bulanlKeluarga, sedangkan 48,9% memiliki HOK kurang dari batas minimal tersebut. Dari ketersediaan HOK tersebut yang benar-benar dimanfaatkan untuk mengelola kebun plasma hanya berkisar antara 7-25 HOK, sehingga masih terdapat cukup banyak HOK yang semestinya dipergunakan untuk lahan pekarangan atau non pertanian. 8. Dari hasil penelitian ini menunjukkan pula bahwa 33,3% responden petaniplasma menyatakan kelompok taninya telah aktif baik dalam kegiatan ekonomi seperti pengorganisasian budidaya tanaman, maupun kegiatan sosial, 48,5%responden petani plasma menyatakan kelompok taninya lebih banyak melakukan kegiatan ekonomi dibanding kegiatan sosial, dan 18,2% responden petani plasma menyatakan tidak ada kelompok taninya dan tidak memiliki kegiatan. 9. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kelebihan potensi tenaga kerja keluarga petani plasma belum dimanfaatkan secara optimal untuk mengelolalahan pekarangan, terbukti bahwa hanya 30,2% responden yang menanarni lahanpekarangannya, sedangkan 69,8%menyatakan tidak pemah mengusahakan lahan pekarangan mereka karena tidak cocok untuk budidaya tanaman pangan. 10. Kelompok lani dan KUD yang diharapkan menjadi penyambung lidah petani plasma belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Manajemen yang mereka lakukan barn terbatas memelihara, menanam, dan memasarkan hasil, belum mampu mengatur meningkatkan produktivitas, mengatasi teknis budidaya, melakukan transaksi produksi dan mengelola kebun plasma secara baik. Berdasarkan kondisi umum tersebut maka disarankan untuk penyempurnaan penyelenggaraan pola PIR-Trans diwaktu yang akan datang sebagai berikut 1. Perlu adanya penyempurnaan sistem rekrutmen perani plasma baik untuk yang berasal dari Jawa, Madura, Bali, dan Lombok, maupun yang berasal dari Alokasi Penempatan Penduduk Daerah Transmigrasi. 2. Untuk meningkatkan kualitas calon petani plasma diwaktu yang akan dating perlu dilaksanakan a. penetapan kriteria tingkat pendidikan formal sebelum diberangkatkan b. pemberian kursus-kursus, pelatihan, bimbingan keterampilan dan pendampingan olen para penyuluh lapangan agar dapat menyampaikan informasi teknologi dan keterampilan kepada petani plasma sesuai dengan jenis/materi, intensitas, maupun lamanya waktu yang dibutuhkan 3. Perlu penyempurnaan mekanisme pemilihan ketua kelompok rani dan ketua kelompok usaha bersama/ketua KUD yang benar-benar merupakan pimpinan yang mendapat dukungan dari bawah, baik melalui pengkaderan jalur formal, maupun jalur informal, sehingga kelembagaan petani tersebut mempunyai posisi rawar - menawar yang kuat terhadap pengusaha. 4. Untuk mencapai pola kemitraan yang sesungguhnya antara Inti dan Plasma, maka perlu dibentuk forum komunikasi Inti-Plasma dan Tim Pembina Proyek Perkebunan Daerah Tingkat I dan II harus benar-benar dapat bertindak sebagai wasit maupun sebagai tim arbitrase dalam mengintegrasikan kepentingan Bank Pelaksana, Kelompok TanilKUD, dan PT. Inti Indo Sawit Subur dalam setiap subsistem Agribisnis. 5. Unruk lebih menjamin kepentingan petani plasma, maka forum komunikasi yang akan dibentuk tersebut dapat menggantikan fungsi lembaga TP3D, sehingga menjadi suaru lembaga yang anggota-anggotanya benar-benar netral dalam memperjuangkan kepentingan Inti-Plasma pada setiap subsistem agribisnis. 6. Perlu dibenruk suaru unit usaha yang dipimpin oleh seorang manajer professional disetiap unit pemukiman transmigrasi agar posisi tawar-menawar dalam kemitraan antara Inti-Plasma sarna kuat