EUDAIMONIA DALAM FILSAFAT STOA SEBAGAI DASAR ETIKA

The term eudaimonia or happiness first appeared in Aristotle's Nicomachean Ethics in book I. Aristotle considered happiness to be something that could be achieved in ordinary activities, not something that was independent of that activity. Happiness makes human life better based on moral values. Happiness is related to birth, life processes, and events after death. Discussion of happiness in later times continued into the time of Stoic philosophy. The meaning of happiness which was interpreted inclusively during Aristotle's time shifted into a pragmatic meaning, about how an individual is able to control negative emotions in social life. The teachings brought by the Stoics taught that when a human being has an awareness of the virtues he has, then he will consider all things before deciding what action to take so he avoids negative emotions.Istilah eudaimonia atau kebahagiaan pertama kali muncul dalam karya Aristoteles berjudul Nicomachean Ethics dalam buku I. Aristoteles menganggap kebahagiaan merupakan sesuatu yang bisa dicapai dalam aktivitas biasa, bukan sesuatu yang independen terlepas dari aktivitas tersebut. Kebahagiaan adalah segala sesuatu yang membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik berdasarkan nilai-nilai moral. Kebahagiaan berkaitan dengan kelahiran, proses kehidupan, dan peristiwa setelah kematiaan. Perbincangan tentang kebahagian di kemudian hari berlanjut hingga masa filsafat Stoa. Pergeseran makna kebahagiaan yang dimaknai secara inklusif pada masa Aristoteles bergeser menjadi makna pragmatis, tentang bagaimana seorang individu mampu mengendalikan emosi negatif dalam kehidupan sosial. Ajaran yang dibawa oleh Stoa mengajarkan ketika seorang manusia memiliki kesadaran akan keutamaan yang dimilikinya, maka dia akan mempertimbangkan segala hal sebelum memutuskan tindakan yang akan dilakukan sehingga dia terhindar dari emosi negatif