Cinta dan Rupiah Terhadap Kualitas Pendidikan Islam dan Sosial Masyarakat Bugis Di Desa Dalil Kec Bakam Dan Sungai Liat

  Love is one of the basic things that exists to perfect a couple's marriage as they navigate the household. In Bugis society apart from love, rupiah is also an important thing that must exist before stepping into marriage. Usually this rupiah is termed Panaik Money. For the Bugis community, there is no banknote/rupiah, so there is no marriage. Even when two lovebirds like each other and even fail to get married because there is no agreement regarding the rupiah that the man must hand over to the woman in a fantastic amount, then something called silariang or elopement appears. In this study, researchers will see how the position of the rupiah is if it has been linked to Islamic education and social education. Giving Panaik money in traditional Bugis Makassar marriages is not regulated in Islamic law. Islamic law only requires the prospective groom to pay a dowry to the prospective bride and even then it is recommended for the woman not to ask for excessive dowry. The amount of Panaik money that must be submitted depends on the social status, education, physical condition, and occupation of the prospective bride. The higher the social status of his future wife, the higher the amount that must be given. Social education is related to the values ​​contained in giving rupiah, which are sometimes fantastic amounts, especially the transmigrant community in the Bangka Belitung Islands. In this study, the Bugis community in Kec. Bakam and Clay River. Research data was collected using interview techniques and documentary observation. In terms of data sources, this type of research is field research. Because the data needed in this research comes from the field, especially villages on the Clay River, and the Bugis community in Bakam sub-district, especially in Dalil village which is the object of research.   Cinta merupakan salah satu hal mendasar yang ada  untuk menyempurnakan perkawinan sebuah pasangan dalam mengarungi rumah tangga. Dalam masyarakat bugis selain cinta, rupiah juga adalah hal penting yang harus ada sebelum melangkah ke jenjang perkawinan. Biasanya rupiah ini diistilahkan menjadi Uang Panaik. Bagi masyarakat Bugis, tidak ada uang panaik/rupiah maka tidak ada perkawinan. Bahkan ketika dua sejoli sudah saling suka sama suka bahkan gagal menikah karena tidak adanya kesepakatan terkait rupiah yang harus diserahkan pihak laki-laki kepada pihak perempuan dengan jumlah yang fantastis., maka muncullah yang namanya silariang atau kawin lari. Dalam penelitian ini, peneliti akan melihat bagaimana posisi rupiah tersebut jika sudah dihubungkan dengan pendidikan islam dan pendidikan social, Pemberian uang panaik dalam perkawinan adat Bugis Makassar  tidak diatur dalam hukum Islam. Hukum Islam hanya mewajibkan calon mempelai laki-laki membayarkan mahar kepada calon mempelai wanita dan itupun dianjurkan kepada pihak wanita agar tidak meminta mahar berlebihan. Jumlah uang panaikyang harus diserahkan itu tergantung dari status social, pendidikan, kondisi fisik, dan pekerjaan calon mempelai perempuan. Makin tinggi derajat social calon istrinya maka tinggi pula nominal yang harus diberikan. Pendidikan social itu kaitannya dengan niali-nilai yang terkandung dalam pemberian rupiah yang kadang jumlahnya fantastis itu, terutama masyarakat transmigran yang ada di Kepulauan Bangka Belitung, pada penelitian ini masyarakat Bugis yang ada di Kec. Bakam dan Sungai Liat. Data penelitian dihimpun dengan menggunakan teknik wawancara dan observasi dokumenter. Ditinjau dari sumber datanya, maka tipe penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research). Sebab data yang diperlukan dalam penelitian ini berasal dari lapangan khususnya desa-desa yang ada di sungai liat,dan masyarakat bugis yang ada di kecamatan Bakam, khusunya di desa Dalil yang dijadikan objek penelitian