Dimensi Etik dalam Tindak Bahasa Illokusi(Illocutionary Act) J.L. Austin

J.L. Austin termasuk salah seorang tokoh Ordinary Languag Philosophy (Filsafat Bahasa Biasa) yang sangat menaruh perhatian terhadap pengguna bahasa pergaulaln (Colloquial Language). Dalam tradisi perkembangan filsafat Barat sebelumnya, perhatian terhadap penggunaan bahasa pergaulan ini kurang sekali, kalau tidak boleh dikatakan bahwa tidak diperhatikan sama sekali. Para filsuf analitik sebelumnya terutama penganut Atomisme Logis dan Positivisme Logis lebih mencurahkan perhatian mereka terhadap penggunaan bahasa ilmiah yang bersifat logis dan pasti. Bahasa pergaulan dianggap mengandung banyak kelemahan seperti; bermakna ganda (ambiguity), tidak terang (inexplicitness) dan kabur (vague). Oleh karena itu menurut persangkaan mereka--- penganutAntomisme Logis dan Positivisme Logis---sungguh riskan menggunakan bahasa pergaulan itu dalam kegiatan filsafat. Penganut Filsafat Bahasa Biasa___ Wittgenstein, Moore, Ryle, termasuk pula Austin---bukannya tidak menyadari akan kelemahan bahasa biasa itu. Namun mereka menemukan banyak persoalan filsafati justeru di dalam bahasa biasa atau bahasa pergaulan. Austin misalnya, menemukan persoalan-persoalan yang berkenaan dengan masalah etis---khususnya tanggungjawab moral---dalam isi tuturan performatif (Performative Utterance). Ia melihat bahwa tuturan performatif lebih mengandung dimensi etis, sedangkan tuturan konstatif (Constative Utterance) lebih mengandung hal-hal faktual. Tuturan yang mengandung dimensi etis tidak dapat diperiksa benar atau saslahnya sebagaimana halnya dengan tuturan konstatif yang memiliki kandungan faktual, sehingga dalam bahasa pergaulan acapkali dipandang sebagai tuturan kelas dua. Tuturan performatif ini menemukan bentuk yang lebih jelas dalam tindak bahasa illokusi (Illocutionary Act) yaitu, suatu penampilan tindak bahasa dalam mengatakan sesuatu yang dilawankan dengan tindak bahasa dengan mengatakan sesuatu. Di dalam tindak bahasa illokusi ini terkandung suatu daya atau kekuatan (force) yang menuntut tanggungjawab moral si pelaku tindak bahasa yang bersangkutan. Tanggungjawab moral ini merupakan dimensi etis yang termaktub dalam isi tuturan atau tindak bahasa yang lebih mengena atau tertuju kepada si pelaku, namun banyak pelaku tindak bahasa tidak menyadari akan hal itu