Democracy in Indonesia Towards Mangkunegaran: The Fade of Javanese Royal Palace's Political Power

Mangkunegaran in early establishment initially had a capacity and authority armed with forces and territory, which currently only deemed as one of the cultural guardian institution even more physically interpreted as a cultural heritage object. This study uses descriptive-qualitative approach under the paradigm of critical approach using semiotic theory. Data collection was done through the literature studies, observation, and in-depth interviews. The results of this study indicate that the inability of Mangkunegaran to dampen the Anti-Swapraja Movement is actually the beginning for waning power politics in Mangkunegaran in the royal system with the doctrine of keagungbinataraan. Declarations to declaration issued by KGPAA Mangkunegara VIII to face the Anti Swapraja movement was compeletely ignored by the society. In traditional Javanese life, it is signed by oncate (the loss of) wahyu kedhaton of Mangkunegaran. In the end the Swapraja Region in Surakarta was revoked, Mangkunegaran has no authority as the center of government. The comparisons of Surakarta before and after independence provide a complete picture for the social change. The change of absolute power to democracy shows a contrasting picture in the historical episode, i.e. the shift of feudal society into a democratic. A society with almost no power becomes a major entity in the life of the Indonesian state.. Mangkunegaran di awal kekuasaannya memiliki kapasitas otoritas dengan angkatan bersenjata dan teritori, yang saat ini hanya dianggap sebagai salah satu lembaga cagar budaya yang secara fisik ditafsirkan sebagai objek warisan budaya. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan pendekatan kritis menggunakan teori semiotik. Pengumpulan data dengan study literature, observasi, dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan Mangkunegaran untuk meredam Gerakan Anti Swapraja merupakan awal dari rontoknya politik kekuasaan di Mangkunegaran dalam sistem kerajaan dengan doktrin keagungbinataraan. Strategi politik KGPAA Mangkunegara VIII dilakukan dengan mengeluarkan maklumat demi maklumat untuk menghadapi gerakan Anti Swapraja secara sepihak diabaikan oleh masyarakat.  Dalam kehidupan tradisional Jawa,  hal tersebut pertanda telah oncat (kehilangan) wahyu kedhaton Mangkunegaran, karena titah dalem sudah tidak mendapat perhatian. Akhirnya Daerah Swapraja di Surakarta dicabut, Mangkunegaran tidak memiliki kewenangan sebagai pusat pemerintahan. Mangkunegaran tidak ubahnya warga negara lain yang harus tunduk pada paraturan dan perundangan warga negara Indonesia yang berasas demokrasi. Perbandingan Surakarta sebelum dan sesudah kemerdekaan memberikan gambaran yang lengkap tentang perubahan sosial yang terjadi. Perubahan kekuatan absolut kerajaan menjadi demokrasi menunjukkan gambaran yang kontras dalam episode sejarah, yaitu pergeseran masyarakat feodal menjadi demokratis. Sebuah masyarakat yang hampir tidak ada kekuasaan di tangan mereka menjadi entitas utama dalam kehidupan negara