Analisis kata Surur dan Farah dalam Al-Quran menggunakan metode Aisyah Bint Al-Syāţhī’: Kajian anti-sinonimitas Aisyah Bint al-Syāţhī’

Bahasan mengenai sinonimitas dan anti-sinonimitas dalam al-Qur’an menimbulkan perselisihan bagi para ulama, baik ahli bahasa maupun mufassir, mereka memperselisihkan keberadaan kosakata dalam al-Qur’an, sehingga menimbulkan pro dan kontra sinonimitas dan anti-sinonimitas. Hal tersebut mendasari penulis untuk mengkaji kosakata yang dianggap sebagai mutarādif yakni berbeda dari bentuk kata, namun memiliki kesamaan arti. Kata tersebut adalah surur dan farah, keduanya secara harfiah diartikan bahagia, namun definisi tersebut merupakan definisi yang tidak komprehensif, yakni definisi yang belum dapat mengungkapkan makna hakiki dari kedua kosakata tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan hakikat makna kata surur dan farah dalam al-Qur’an, menjelaskan secara rinci konteks makna serta mengungkap sisi-sisi perbedaan yang spesifik dari kata surur dan farah sesuai konteks penerapan dalam al-Quran. Maka, penulis menggunakan teori anti-sinonimitas untuk menganalisis perbedaan kedua kata tersebut. Jenis penelitian yaitu kualitatif melalui studi kepustakaan, metode yang digunakan analisis-deskriptif melalui pendekatan semantik yang kemudian dikorelasikan dengan teori anti-sinonimitas Bint Syāţī’, yaitu pertama; mencari makna dasar dan penyebaran beberapa ayat terkait kata yang diteliti, kedua; menentukan makna relasional berdasarkan hasil medan semantik, ketiga; meneliti subjek atau objek serta menelaah penisbatan kosakata tersebut. Hasil penelitian disimpulkan bahwa tidak ditemukannya sinonim kata surur dan farah secara murni, masing-masing memiliki maksud dan tujuan berbeda sesuai dengan konteks penggunaannya (siyāqul kalam). Kata surur hanya menunjukkan konteks bahagia, dalam aspek dunia atau akhirat (Kiamat, Yaumul hisab). Kata farah digunakan untuk mendeskripsikan konteks kebahagian yang sifatnya keduniawian. Di antara perbedaannya ialah bahwasannya surur dan derivasinya yang menggambarkan sebuah ekspresi keadaan (tidak dimasukkan yang bermakna dipan, atau sembunyi) dan dimuat dalam enam ayat di al-Qur’an digunakan sebagai sebuah ekspresi positif seseorang seperti senang dan gembira dan penggunaannya merupakan sebuah bentuk ekspresi yang sifatnya positif atau kesenangan yang wajar. Penggunaannya juga di dalam al-Qur’an berkaitan dengan perintah allah kepada bani israil, kepada orang beriman untuk segera bertaubat dan juga banyak melakukan amal (infaq), dan sebagian lagi berkaitan dengan kasih sayang Allah dan dijauhkannya dari marabahaya