Kontroversi hak politik perempuan dalam tafsir Indonesia : Kajian pada ayat-ayat tentang hak politik perempuan dalam tafsir Indonesia modern dan kontemporer

Islam merupakan agama yang sangat menghargai dan menghormati perempuan dan laki-laki, dihadapan Tuhan baik laki-laki maupun perempuan adalah sama tidak ada yang berbebeda kecuali ketakwaan kepadaNya. namun demikian mayoritas mufasir mempunyai pandangan yang kurang adil terhadap perempuan atas laki-laki terutama dalam memahami ayat-ayat berkaitan dengan hak politik perempuan sehingga menimbulkan kontroversi dikalangan mufasir. Tujuan dari penelitian ini untuk menemukan apa yang menyebabkan kontroversi di kalangan mufasir mengenai hak politik perempuan dalam penelitian ini mufasir yang diteliti diantaranya Imam Nawawi, Quraish Shihab, Husein Muhammad dan Musdah mulia. Metode yang digunakan ialah deskriptif analisis, teknik pencarian data studi perpustakaan, teknik analisa datanya teknik documentasi berupa literature peristiwa, sumber data primernya dari Alquran, Tafsir al-Misbah, Tafsir Marah Labid, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai terhadap Wacana Agama dan Gender, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, sumber data sekunder buku dan jurnal jurnal tentang hak politik perempuan di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa pertama Imam Nawawi sebagai tokoh yang kontra terhadap hak politik perempuan menegaskan kepemimpinan dalam berbagai bidang termasuk bidang politik hanya diperkenankan bagi dan dari kaum laki-laki, Quraish Shihab sebagai tokoh yang pro dalam penelitian ini menegaskan setiap laki-laki maupun perempuan hendaknya mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mampu memberi saran, nasihat, kritik dalam bidang kehidupan termasuk bidang politik. Husein Muhammad sebagai tokoh yang pro juga menegaskan perempuan sebenarnya dapat menjadi pemimpin diantara laki-laki, sejalan dengan itu kaum perempuan juga berhak menjadi pemimpin sebagaimana laki-laki pada umunya.Musdah Mulia yang juga pro terhadap hak politik perempuan menjelaskan konsep yang unik dan berbeda tentang hak politik perempuan.Baginya, pemimpin dari kalangan perempuan tidak harus merubah karakternya menjadi tegas dan berwibawa, sebagaimana gambaran pemimpin pada sosok laki-laki.Kepemimpinan tetap ideal bila dibangun di atas kebersamaan kelembutan dan kasih sayang sebagai kodrat dasar perempuan.Kedua pendapat para mufasir mengenai hak politik perempuan berbeda-beda hal ini disebabkan latarbelakang, kondisi, corak serta metode yang digunakan mufasir tidak sama. Ketiga karena menghasilkan penafsiran-penafsiran yang berbeda memberikan alternatif atau solusi pada persoalan hak politik perempuan untuk mengambil pendapat yang lebih tepat dan bijak