Argumen hukum dan aspek normatif dan sosiologis dalam perkara cerai gugat hubungannya dengan hak istri di Pengadilan dalam wilayah Pengadilan Tinggi Agama Banten

Penelitian dilatarbelakangi kesenjangan antara regulasi dan pemahaman hakim tentang penetapan hak istri pasca perceraian dalam perkara cerai gugat. Hak-hak perempuan yang didukung regulasi tidak banyak mendapat perhatian hakim yang terlihat dari putusan yang ada. Keengganan mempertimbangkan hak perempuan tersebut menandakan kewenangan untuk menggali dan menemukan hukum sebagai pelaksanaan hak ex officio tidak berjalan baik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui secara mendalam dan menganalisis argumen normatif dan sosiologis yang dibangun hakim dalam perkara cerai gugat, faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas hak perempuan dalam perkara cerai gugat, upaya penemuan hukum dengan pertimbangan kemaslahatan dan perlindungan hak perempuan, dan hubungan argumen hukum hakim agama dengan keadilan dan kepastian hukum hak istri pada perkara cerai gugat. Untuk menjawab permasalahan penelitian, penulis menggunakan teori yaitu: teori utama (grand theory) menggunakan teori penemuan hukum, teori menengah (middle theory) menggunakan teori ijtihad hakim dan teori aplikasi (aplicative theory) menggunakan teori al-maṣlaḥah al-mursalah sebagai dinamisasi hukum. Metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif analitis yaitu penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya. Adapun pendekatan penelitian yang dipilih adalah pendekatan yuridis empiris yaitu penelitian hukum empiris tentang pandangan dan argumentasi hakim dalam putusan terkait dengan hak-hak istri pada cerai gugat. Hasil penelitian menunjukkan; pertama, argumentasi yang dijadikan pertimbangan hakim dalam perkara cerai gugat meliputi peraturan perundang-undangan, nash Al-Qur’an, kaidah fikih, dan pendapat ulama. Kedua, disparitas penetapan hak perempuan dalam perkara cerai gugat disebabkan faktor pemahaman yang berbeda terhadap penerapan hak ex officio hakim dan kedudukan regulasi Mahkamah Agung yang mendukung perlindungan hak perempuan. Pasal 41 huruf c UU Perkawinan dipahami sebagian hakim hanya berlaku pada cerai talak dan hakim lainnya memperluas cakupan untuk cerai gugat. Pandangan hakim tentang status cerai gugat sebagai nusyuz berpengaruh terhadap penolakan pembebanan nafkah. Ketiga, penemuan hukum dengan pertimbangan kemaslahatan untuk hak perempuan masih terbatas. Keempat, argumen hakim yang memasukkan cerai gugat sebagai nusyuz dan mendudukkan PERMA dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) sebagai regulasi yang tidak mengikat berpeluang besar untuk tidak memberikan hak nafkah cerai gugat. Kebaruan penelitian ini adalah adanya kesenjangan pemahaman hakim terhadap penerapan hak ex officio, status gugat cerai sebagai nusyuz, dan kedudukan PERMA dan SEMA sebagai peraturan yang mengikat bagi hakim. Kesenjangan tersebut berdampak pada pertimbangan hakim dalam penetapan hak nafkah istri