Agama dan modal sosial kewarganegaraan : Kasus ormas Islam di Bogor

Penelitian ini bertolak dari permasalahan masih terjadinya intoleransi dan konflik sosial yang bernuansa agama sebagai refleksi dari masih resistennya modal sosial kewarganegaraan untuk demokrasi Pancasila. Penelitian bertujuan untuk menganalisis sejarah dan perkembangan Ormas Islam, menganalisis kultur keagamaan empat ormas Islam yaitu, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Front Pembela Islam (FPI) dalam pengekspresiaan modal sosial kewarganegaraannya serta persepsi konteks sosial (sosial budaya, politik dan ekonomi) dan pengartikulasian kewarganegaraannya. Penelitian ini berpijak pada grand-teory Tindakan Sosial Weber, Sistem Sosial Parsons, dan Agama sebagai Lifeworld dari Habermas; middle range-theory Mechanical Solidarity Durkheim, Gemeinschaft (Ikatan Komunitas) Tonnies, Budaya Politik dari Almond dan Verba, Habitus Bourdieu dan proses dialektis Berger. Sedangkan sociological theory (applied) yang digunakan yaitu teori modal sosial dari Putnam, Coleman, Uphof, Hasbullah dan Claridge, serta kewarganegaraan dari Marshall dan Turner, pola relasi agama dan negara dari Ibnu Khaldun, Boland, Menchik dan Riaz Hassan. Jenis penelitian ini kualitatif dengan pendekatan multidisipliner Sosiologi, Ilmu Politik, dan Ilmu Sejarah. Sumber data penelitian kualitatif berasal dari pernyataan, sikap dan tindakan, didasarkan wawancara mendalam dengan informan kunci ormas Islam. Pengumpulan data juga dilakukan melalui penelusuran literatur. Teknik analisis melalui kategorisasi, komparasi, sintesis, penyajian data, penarikan kesimpulan, serta verifikasi. Temuan penelitian menunjukkan (1) Kosmopolitanisme masyarakat Bogor merupakan faktor yang membuat ragam ormas Islam dapat diterima; (2) Corak modal sosial kewarganegaraan ormas Islam terbentuk karena perbedaan orientasi keagamaan dan politik yang merupakan resultan dari pemahaman teks serta kultur keagamaannya; (3) Muhammadiyah dan NU dengan orientasi keagamaan yang moderat (washatiyyah) memiliki modal sosial kewarganegaraan yang persisten sedangkan HTI dan FPI dengan corak keagamaan yang fundamentalis (ushuliyyah) memiliki modal sosial kewarganegaraan yang resisten terhadap demokrasi; (4) Muhammadiyah dan NU melihat konteks sebagai ramah terhadap syariah dan tidak memerlukan formalisasinya sedangkan HTI dan FPI melihat konteks tidak ramah dan memerlukan formalisasi syariah. Disimpulkan bahwa pemahaman teks dan konteks membentuk modal sosial kewarganegaraan serta artikulasi kewarganegaraan masing-masing ormas. Sikap diferensiasi agama dan negara juga membuat modal sosial kewarganegaraan Muhammadiyah dan NU bersifat persisten untuk demokrasi Pancasila, sementara sikap integrasi HTI dan FPI, membentuk modal sosial kewarganegaraan keduanya ini menjadi resisten terhadap demokrasi Pancasila