Ulama dan Negara : Kiprah Hamka sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1975-1981

Ulama merupakan pemimpin bagi umat Islam. Dalam kedudukannya di pemerintahan (negara), keberadaan ulama sangatlah penting. Keberadaannya selalu berada di ring satu kekuasaan dan bahkan menjadi pucuk pimpinan kekuasaan itu sendiri. Dalam konteks sejarah bangsa Indonesia, dinamika kiprah ulama telah mengalami pasang-surut, mulai dari masa kerajaan Islam, penjajahan, Pergerakan, Revolusi, Orde Lama, dan Orde Baru, ulama selalu menunjukkan perannya. Untuk dapat menggambarkan bagaimana hubungan antara ulama dan negara, salah satunya dapat direpresentasikan melalui kiprah Hamka sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1975-1981. Dalam penelitian ini, fokus permasalahan yang dibahas, yaitu bagaimana biografi Hamka sebagai sosok representatif ulama Indonesia masa itu? Dan bagaimana kiprah Hamka sebagai ketua umum MUI? Untuk menjawab permasalahan tersebut dibahas dengan menggunakan metode penelitian sejarah yang meliputi beberapa tahap, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Haji Abdul Malik Karim Amrulllah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Hamka adalah sosok ulama yang kiprahnya di Indonesia sangat mumpuni. Tidak saja memainkan peranannya sebagai ulama, tetapi juga sebagai wartawan, sastrawan, sejarawan hingga politisi. Hal ini dibuktikannya dengan karya-karya yang dihasilkan selama hidupnya yang meliputi bidang agama, filsafat, tasawuf, sastra, sejarah, dan tafsir. Dengan demikian, tak heran bilamana Hamka menjadi sosok representatif ulama Indonesia terlebih posisinya yang sempat menjabat sebagai ketua umum MUI tahun 1975-1981. Kiprah Hamka sebagai ketua umum MUI berlangsung selama dua periode. Di bawah Hamka, MUI telah kokoh berdiri sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa dan menjawab persoalan keagamaan yang muncul dalam masyarakat Indonesia. Kiprah Hamka di MUI meliputi kiprah sebagai pendiri, sebagai ketua umum, dan dalam bidang fatwa. Periode pertama di MUI, Hamka merupakan salah satu pendiri bersama 53 perwakilan lainnya yang menandatangani piagam pendirian MUI. Selanjutnya, Hamka menjalankan tugas sebagai ketua umum MUI (1975-1980), seperti membangun manajemen keorganisasian MUI, menjembatani umat Islam dan pemerintah, menjaga akidah umat Islam dan kerukunan umat beragama hingga mewakili umat Islam Indonesia dalam hubungannya dengan non-Muslim maupun dunia Islam Internasional. Dalam periode kepemimpinannya yang kedua hanya berjalan satu tahun (1980-1981), Hamka telah menjawab persoalan keagamaan melalui fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI. Meskipun Hamka akhirnya mengundurkan diri sebagai ketua umum MUI, pengunduran diri itu merupakan bentuk pertanggungjawaban terkait Fatwa yang dikeluarkan MUI, yaitu Fatwa Perayaan Natal Bersama yang mengundang polemik dan friksi antara MUI dengan pemerintah. Hal tersebut justru memperlihatkan keteguhan Hamka menjaga akidah umat Islam, terlebih kedudukannya sebagai ulama sekaligus ketua umum MUI