Studi Komperatif atas Pemikiran Hazairin dan Musdah Mulia tentang Pembagain Alhi Waris Anak Laki-laki dan Anak Perempuan

Mawaris atau hukum waris mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban ahli waris terhadap harta warisan, menentukan siapa yang medapatkan dan berhak atas harta warisan, bagaimana cara pembaginnya masing-masing ahli waris. Fqih mawaris disebut juga ilmu Faraidh, yang dikarenakan di dalamnya membicarakan tentang perhitungan atau bagian-bagian dari masing-masing hak ahli waris terhadap harta warisan Menurut Hazairin hukum kewarisan itu mencerminkan suatu sistem kekeluargaan, dimana berlaku sistem keturunan yang patrilinial atau matrilinial atau bilateral. Dari uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan kalau Hazairin mengungkap konsep pembagian waris dengan Hukum Adat. Sedangkan menurut Musdah Mulia beranggapan bahwa laki-laki dan wanita itu tidak ada perbedaan diantara keduanya, tidak ada yang nomor satu dan yang utama, karena hanya Allah yang nomor satu dan yang utama. Dikontekskan dengan pembagian waris yang 2:1 menurut Musdah tidak adil. Maka dari pada itu timbulah permasalahan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemikiran Hazairin dan Musdah Mulia terhadap konsep pembagian ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan dan dasar hukumnya; dan untuk mengetahui perbedaan dan persamaan pemikiran Hazairin dan Musdah Mulia terhadap konsep pembagian ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan. Metode yang digunakan adalah metode pendekatan komparatif, jenis penelitian deskriptif analatik. Sumber hukum primer dalam penelitian ini adalah buku Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits dan buku Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan. Sementara sumber hukum sekunder adalah berbagai data yang penunjang yang berhubungan dengan peneltian ini. Hasil dari penelitian ini adalah (1) Hazairin berpendapat bahwa dalam hal konsep ahli waris anak laki-laki dan perempuan itu dikembalikan sistem perkawinan apa yang digunakan apakah itu patrilinial, matrilinial, atau bilateral atau dengan kata lain dengan sistem hukum adat. Musdah Mulia berpendapat bahwa konsep ahli waris anak laki-laki dan perempuan adalah sama berdasarkan asas kesetaraan gender. (2) Kedua memiliki kesamaan dalam penyamarataan pembagian hak ahli waris laki-laki dan perempuan (menurut Hazairin) jika sistem yang di anut adalah bilateral. Perbedaannya adalah Musdah Mulia menggunakan penafsiran yang didasarkan kepada asas keadilan dan persamaan gender, sementara Hazairin lebih mengembalikan fenomena di masyarakat yang menggunakan sistem patrilineal, matrilineal, dan bilateral dalam sistem perkawinan (hukum adat). Menurut penulis dari dalam konsep ahli waris anak laki-laki dan perempuan akan lebih efektif jika dikembalikan kepada sistem apa yang dianut dalam masyarakat tersebut apakah patrilinial, matrilinial, atau bilateral sehingga hukum akan lebih fleksibel