Perbandingan pernikahan beda agama menurut pandangan Muhammad Bin Idris Al-Syafi’i dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

Pernikahan beda agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau pemerintah secara tegas melarangnya dan menghilangkan sikap mendua dalam mengatur dan melaksanakan suatu perkawinan bagi rakyatnya. Sikap ambivalensi pemerintah dalam pernikahan beda agama ini terlihat dalam praktek bila tidak dapat diterima oleh Kantor Urusan Agama, dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil dengan mendapatkan izin terlebih dahulu oleh Pengadilan Negeri. Penelitian ini bertujuan: pertama untuk mengetahui pendapat Al-Syafi'i tentang pernikahan beda agama, kedua untuk mengetahui metode Istinbath al-Ahkam Al-Syafi'i tentang pernikahan beda agama, dan yang ketiga untuk mengetahui perbandingan pendapat Al-Syafi’i tentang pernikahan beda agama dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penelitian ini bertolak dari pemikiran bahwa penentuan boleh tidaknya perkawinan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tergantung pada ketentuan agamanya masing-masing. Artinya, bila hukum agama menyatakan bahwa suatu pernikahan beda agama itu boleh, boleh pula menurut hukum negara, begitu pula sebaliknya, sehingga lembaga agama diberikan wewenang untuk mengesahkan suatu pernikahan. Pernikahan beda agama dipandang dari hukum agama Islam, khususnya pandangan Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, bila diaplikasikan di Indonesia, pada dasarnya tidak diperkenankan untuk dilaksanakan, maka hukum dari perkawinan antara Muslim dengan Muslim ialah tidak sah. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang masalah yang dibahas. Metode deksriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang obyek yang diteliti. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik library research (penelitian kepustakaan). Pemilihan kepustakaan dilakukan secermat mungkin dengan mempertimbangkan otoritas pengarangnya terhadap bidang yang dikaji. Hasil penelitian itu dapat disimpulkan bahwa dalam pernikahan beda agama menurut Muhammad bin Idris Al-Syafi'i membolehkan pernikahan antara Muslim dengan non-Muslim (Ahli Kitab), dengan ketentuan Ahli Kitab tersebut ialah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang masih keturunan Bani Israil. Metode Istinbath al-Ahkam yang digunakan berdasarkan dengan pendekatan takhsis ayat bil ayat. Kemudian, perbandingan antara pandangan Muhammad bin Idris Al-Syafi’i dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, jika diaplikasikan di Indonesia, maka sama-sama tidak menghendaki pernikahan antara Muslim dengan non-Muslim, dengan alasan orang-orang Indonesia yang menganut agama Yahudi atau Nasrani sesudah turunnya al-Qur’an mereka bukanlah termasuk dalam ahlul kitab, dan juga demi terjaganya al-Huquq al-Khamsah sebagai bagian dari realisasi Maqashid al-Syar’iyah