Pencarian legalitas perkawinan beda agama di Indonesia

Pernikahan beda agama merupakan isu yang sangat krusial di Indonesia karena secara legal formal terdapat kekosongan hukum (legal vacuum) tetapi fakta empiris menunjukkan jumlah pelaku pernikahan beda agama (PBA) semakin meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perkembangan kebijakan hukum PBA, membuktikan upaya pencarian legalitas PBA dalam aturan undang undang, dan memahami praktiknya di Indonesia serta akibat hukumnya. Penelitian ini menggunakan metode hukum empiris dengan pendekatan sosiologi hukum dan ilmu politik hukum. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) terhadap pelaku dan tokoh-tokoh yang terlibat langsung dalam proses praktik perkawinan beda agama. Data sekunder mencakup aturan perundang-undangan, risalah dalam pembuatan undang-undang dan putusan hakim. Disertasi ini membuktikan bahwa Kebijakan hukum perkawinan beda agama mengalami perubahan dari masa ke masa, pada masa kolonial dalam GHR sampai dengan terbentuknya undang-undang perkawinan yang sedang berlaku saat ini. Adanya beberapa produk hukum yang menunjukkan inkonsistensi dan pertentangan aturan perundang-undangan (conflict of laws), terjadi dis sinkronisasi antara aturan hukum dan implementasinya hingga ketidakseragaman putusan pengadilan yang digunakan oleh hakim sebagai alternatif mengisi kekosongan hukum perkawinan beda agama di Indonesia. Secara empiris menunjukkan pelaku PBA telah melakukan empat cara sebagai celah hukum agar status perkawinan legal yaitu; tunduk ke agama pasangan, melangsungkan perkawinan di luar negeri, penetapan pengadilan, mengadakan perkawinan di bawah payung organisasi nonpemerintah (NGOs). Cara pandang majelis agama (MUI, PGI, KWI, PHDI, WALUBI, MATAKIN) dalam memaknai perkawinan beda agama mempengaruhi kebijakan hukum PBA. Pernyataan majelis agama turut mempengaruhi keputusan MK. Perkawinan beda agama juga berdampak pada aspek sosial, budaya, dan hukum pasangan seperti pemilihan agama anak, perceraian, hak asuh anak pasca perceraian, dan warisan. Penelitian ini tidak sependapat dengan Fathul Hedi, dkk. (2017) yang menyatakan bahwa perkawinan beda agama tidak sesuai dengan tujuan filosofis perkawinan Indonesia yaitu membentuk keluarga bahagia berdasarkan ketuhanan YME.. Sebaliknya, penelitian ini mendukung pendapat Ahmad Nurcholish (2015), Cindy Silvy Foresty, dkk. (2016), Sri Wahyuni (2016), dan Kadek Wiwik Inrayanti (2017) yang menyatakan perlunya legalitas PBA dalam UU Perkawinan agar hak hidup dan ekspresi kebebasan beragama yang dijamin dalam UUD 1945 terpenuhi. Implikasi penelitian ini adalah perlu adanya regulasi khusus yang mengatur pernikahan beda agama sehingga terdapat kepastian hukum (legal certainty)