Hak Asuh Anak Akibat Perceraian Karena Murtad (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Agama Panyabungan Nomor: 266/Pdt.G/2021/PA.Pyb)

Salah satu akibat dari perceraian adalah permasalahan hak asuh anak atau sering disebut dengan Hadhanah dalam Hukum Islam. Permasalahan hak asuh anak telah diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan seperti Pasal 41 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo Pasal 105 Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan tentang pemeliharaan anak akibat dari perceraian. Peneliti mengangkat rumusan masalah mengenai bagaimana dasar pertimbangan hukum Hakim dalam mengabulkan hak asuh anak akibat perceraian karena murtad dalam Putusan Pengadilan Agama Panyabungan Nomor: 266/Pdt.G/2021/PA.Pyb. Metode penelitian yang digunakan yuridis normatif, spesifikasi penelitian menggunakan perspektif analitis, sumber data yang digunakan adalah data sekunder, metode pengumpulan data studi kepustakaan dengan menginventarisir semua data sekunder dan metode analisis menggunakan normatif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa Majelis Hakim dalam mengizinkan Pemohon menjatuhkan talak raj’i berdasarkan pada telah terpenuhinya unsur-unsur alasan perceraian berdasarkan Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan alasan perceraian karena murtad dan Pasal 40 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan larangan perkawinan dengan wanita yang tidak beragama Islam, telah terpenuhinya alasan-alasan perceraian dalam Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan, dan Pemohon yang belum pernah menjatuhkan talak. Menurut peneliti, Majelis Hakim dalam memberikan izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak raj’i adalah kurang tepat. Seharusnya Majelis Hakim memberikan izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak bain sugra, bukan talak raj’i karena Termohon telah murtad maka tidak dapat rujuk. Selanjutnya Majelis Hakim menetapkan Pemohon sebagai pemegang hadhanahberdasar pada Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan kewajiban orang tua terhadap anak meskipun perkawinan telah putus, Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak yang menyebutkan kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap anak, serta Pasal 105 huruf (a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan pemeliharaan anak. Menurut peneliti, pertimbangan hukum Hakim akan lebih tepat dan kuat menambahkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 210/K/AG/1996 yang memiliki abstraksi hukum bahwa agama merupakan syarat untuk menentukan gugur tidaknya hak seorang ibu atas pemeliharaan dan pengasuhan terhadap anak yang belum mumayyiz