Implikasi Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan terhadap Kedudukan Kreditur pada Saat Terjadi Wanprestasi

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan sebagai kuasa debitur untuk pembuatan Akta Pembebankan Hak Tanggungan yang memuat janji-janji untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan dalam perjanjian kredit kepada kreditur, yang diatur dalam Undang-undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 dan Sertipikat Hak Tanggungan yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Negara untuk menjamin kepastian hukum terhadap Kreditur sebagai kreditur preferent. Tesis ini menganalisis 2 sengketa pembebanan hak atas tanah yang hampir mirip namun dari 2 sengketa tersebut mendapat hasil putusan yang berbeda. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2339 K/Pdt/2018, Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 436/Pdt/2015/PT.SMG yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 57/Pdt.G/2014/PN Pwt, SKMHT yang berjangka waktu namun ada keterlambatan dalam pembuatan APHT dan pemasangan SHT dinyatankan sah secara hukum. Pada tingkat banding dinyatakan sah dan tetap berlaku, sedangkan pada Putusan Pengadilan Nomor 8/Pdt.G.S/2021/PN Kpn SKMHT yang tidak berjangka waktu dan tidak dilakukan pembuatan APHT dan pemasangan SHT dinyatakan sah secara hukum. Pokok Permasalahan yang akan diteliti pada tesis ini adalah untuk menganalisis perkembangan SKMHT terhadap kedudukan kreditur pada saat terjadi wanprestasi dan untuk menganalisis implikasi SKMHT yang berjangka waktu dan tidak berjangka waktu jika tidak langsung dibuatkan APHT dan diterbitkan SHT kedudukan kreditur menjadi konkuren. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan secara perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Hasil penelitian menunjukan Perkembangan pengaturan SKMHT pada akta PPAT yang dapat dinyatakan sah demi hukum menurut putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2339 K/Pdt/2018, Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 436/ Pdt/2015/PT.SMG yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 57/Pdt.G/2014/PN Pwt, yaitu karena SKMHT tersebut terjadi tumpang tindih penerapan aturan yang digunakan menggunakan asas hukum Lex specialis derogat legi generalis.Asas ini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan menggesampingkan aturan hukum yang umum. Implikasi terhadap SKMHT yang tidak berjangka waktu dalam Putusan Nomor 8/Pdt.G.S/2021/PN Kpn maka kreditur belum memiliki kepastian hukum, kedudukan sebagai kreditur konkuren dan implikasi SKMHT yang berjangka waktu tidak langsung dibuatkan APHT dan diterbitkan SHT terhadap kreditur adalah tidak memiliki kepastian hukum,dan SKMHT batal demi hukum, agar kreditur segera dibuatkan APHT dan diterbitkan SHT sehingga memiliki kedudukan sebagai kreditur preferent