Santrinisasi Keraton Yogyakarta (pergumulan sosial-keagamaan pasca kolonial)

Islam Keraton Kasultanan Yogyakarta yang dipresentasikan oleh Hamengku Buono IX dan Hamengku Buwono X mengekspresikan dan mengartikulasikan bahkan menggabungkan khazanah spiritual Islam tradisional jawa dengan kepekaan sosial Islam modern, sekaligus memberikan jawaban atas stratifikasi keraton yang sinkertik. Kasultanan Yogyakarta yang telah menjadi lambang sinkertisasi, kini berkembang semakin ortodok. Proses interaksi antara Islam dan budaya lokal jawa berlangsung terus menerus tanpa henti, proses of becoming, bukan state of being (M. Bambang Pranowo, 1991). Penelitian ini menguatkan pendapat bahwa ritual keangamaan di keraton bersumber dari ajaran al-Qur'an dengan proses integrasi, akomodasi, dan akulturasi antara budaya jawa dan Islam, bukan bersumber dari agama Hindu dan Budha (Mark R. Woodward, 1989), hal itu didukung dengan bukti adanya sema'an (tadarus) al-Qur'an di keraton Yogyakarta untuk menggantikan perayaan ulang tahun keraton. Raja dan keluarganya juga telah melaksanakan ibadah haji dan ibadah mahdah lainnya. Pada prinsipnya penelitian ini juga menguatkan teori kuntowijoyo bahwa yang hilang adalah jawa sebagai "isme" (sistem kepercayaan), tetapi jawa sebagai kebudayaan tidak hilang, bahkan jawa semakin ortodok dalam akhlak ibadah dan syari;ah (Kuntowijoyo, 1999). Sedangkan potensi kejawen akan nampak dalam bentuk mu'amalah, budi pekerti dan hakekat maupun martabat manusia sesuai dengan tuntutan dan dinamika zaman. (Taufik Abdullah, 1989). Ricklefs menyimpulkan bahwa Islamisasi pada masa orde baru semakin mendalam. Masyarakat jawa dan Indonesia pada umumnya semakin Islami. Hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kelas menengah yang menaruh perhatian pada Islam, tumbuhnya sekolah-sekolah Islam modern, bank Islam hingga pemakaian jilbab. (M.C. Ricklefs, 2013). Penelitian ini ditulis untuk membantah kesimpulan Clifford Geertz (1960) yang membagi masyarakat jawa dalam tiga golongan ; santri, priyayi dan abangan, seolah-olah dia mengatakan bahwa priyayi tidak mungkin menjadi santri, dan begitu pula sebaliknya. Namun dalam kenyataannya ada priyayi yang santri dan ada priyayi yang juga abangan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data diperoleh dengan menggunakan penelitian lapangan (field Research) dan kajian kepustakaan (Library research). Penelitian ini adalah kajian sejarah sosial dan intelektual di Keraton Yogyakarta. Sumber utama adalah hasil wawancara dengan kerabat keraton kasultanan Yogyakarta (primary resources) dan kajian karya-karya yang ditulis para raja (Sultan). Penelitian ini menggunakan pendekatan historis, terutama sejarah intelektual atau sejarah pemikiran yang dapat diartikan sebagai studi tentang peranan pemikiran (Idea) dalam peristiwa dan proses-proses sejarah. Metode historis ini digunakan untuk melacak kondisi sosial-politik pada masa menjelang kemerdekaan, masa kemerdekaan dan orde lama serta masa orde baru