Kemandirian perempuan dalam akad nikah: (Studi Kritis Terhadap Eksistensi Wali Mujbir dan Wali Ad~al dalam UU Perkawinan, perspektif Maqashid as-syari?ah, Hak Anak dan Hak Perempuan)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa mengenai kemandirian perempuan dalam akad nikah, ditinjau dalam perspektif maqashid syari?ah, hak anak dan hak perempuan. Dengan objek studi penelitian pada eksistensi wali mujbir dan wali ad~al dalam UU perkawinan. Penelitian tesis ini menggunakan penelitian hukum normative yang bersifat deskriptif. Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif di antaranya sumber data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, yakni undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal 6 mengenai perkawinan, serta UU perlindungan anak, UU HAM, Kompilasi Hukum Islam dan hal yang berkaitan. Kemudian data sekunder yaitu data yang diperoleh dari buku, artikel, jurnal dan lainnya. Dari hasil penelitian ini didapati bahwa sebenarnya kemandirian perempuan dalam akad nikah bukan hanya wacana semata, tetapi merupakan hasil pendapat dari salah satu Imam Madzhab, implementasi kemandirian tersebut dapat dihadirkan dengan beberapa formulasi yang tetap melihat pada situasi dan keadaan yang dihadapi, serta melihat klausa pasal yang membuka peluang adanya eksistensi dari seorang wali, yang menekankan mengenai hak dan kewajiban wali ?Adapun hak wali dalam melakukan tugas perwalian yaitu di antaranya hak untuk dihormati oleh si anak?, terlebih jika sang anak masih di bawah umur. Di sisi lain realisasi kemandirian ini agak sulit, karena dalam KHI Pada Pasal 19 berbunyi ? Wali Nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai Wanita yang bertindak untuk menikahkannya?. Aturan KHI ini disebabkan karena pengambilan sumber hukumnya cenderung Syafi?iyah oriented. Di mana bangunan hukum yang ada cenderung berpaku pada konteks masa lalu yang tentunya berbeda dengan konteks kehidupan saat ini, yang mempertimbangkan banyak hal diantaranya perlindungan anak dan keadilan terhadap kaum Perempuan. Selain itu, Undang-Undang Perkawinan juga sangat tidak setuju dengan eksistensi wali mujbir dan ad~hal dalam pelaksanaan perkawinan, terlihat penekanan pada pasal 1 yang mengharuskan persetujuan dari kedua mempelai. Konsep mujbir dan ad~hal tersebut dipandang oleh UU perkawinan tidak sesuai dengan hak asasi manusia, keadilan gender dan tujuan maqa>shid asy-syari>?ah. Terutama jika direalisasikan pada tatanan kehidupan saat ini