TRANSFORMASI KEBIJAKAN KEPEMUDAAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: ANTARA PROSEDUR, IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEBIJAKAN (Studi Pelayanan Kepemudaan di Kabupaten Cianjur)

Bentuk kesenjangan tajam antara arah tujuan dari kerangka kebijakan kepemudaan dan pencapaian kebijakan dengan kualitas IPP Cianjur dengan kualifikasi termasuk paling rendah, di masa mendatang secara hipotetik akan menjadi masalah kompleks dan krusial. Bahwa pemetaan masalah kepemudaan tersebut dapat dilakukan secara seksama mempertimbangkan trajektori perubahan IPPI selama tujuh tahun terakhir dengan masing-masing mencapai nilai 48.67, 50,83, 49.33, 51.50, 52.67, 51.00 dan 51.00. Berdasarkan jalur regularitas dari trajektori perubahan Indeks Pembangunan Pemuda Indonesia tahun 2015 – 2021 dan melalui analisis perbandingan linier dapat diproyeksikan pencapaian pada tahun 2030 masih lumayan rendah. Bahwa kualitas proyeksi tersebut akan menjadi masalah kompleks ketika terjadi bersamaan dengan tahap kulminasi bonus demografi, karena secara teoritik dapat mengakibatkan rasio beban ketergantungan yang lebih tinggi, yang menjadi anteseden dari peningkatan kriminalitas, masalah hubungan keluarga dan ingsutan kepercayaan. Bahwa desain penelitian yang menerapkan Concurrent Embedded 2 melalui metode survei, studi implementasi dan evaluasi dengan bertumpu pada pendekatan behavioralisme serta neo-institusionalisme ini bertujuan untuk menunjang proses transformasi pelayanan kepemudaan yang lebih moderat dalam menempatkan pemuda sebagai atraktor dari perubahan. Adapun hasil penelitian ini menunjukan bahwa: 1) Pemuda Kabupaten Cianjur mempunyai persepsi konstruktif terkait pelayanan kepemudaan yang secara prosedur wajib dilaksanakan Disparpora, DPD KNPI, Karang Taruna dan Gerakan Pramuka Kwartir Cabang Cianjur termasuk terkait pembangunan pemuda berbasis pendekatan Organisasi 4-H, sekalipun belum melibatkan pemuda secara inklusif ke dalam jaringan kebijakan dan penyelidikan terhadap persepsi sebagai orientasi nilai secara objektif dalam taraf signifikansi tertentu akan memuat distorsi. 2) Pelayanan kepemudaan dari implementor terkait juga masih terbatas tingkat signifikansi pra konsep yang belum otonom, sehingga masih merupakan skema implementasi yang bermasalah dalam analisis behaviorisme. 3) Keberadaan institusi formal dan informal tidak secara ketat memberikan guidelines dan constraints baik dalam pemilihan tindakan, dalam melakukan analisis proyeksi probabilitas hambatan pada tahap implementasi maupun dalam membangun desain evaluasi kebijakan yang dapat diverifikasi dalam praktik global. Sebagai implikasi bahwa penelitian ini telah menghadirkan arah pengembangan epistemologi sebagai moralitas pendekatan baru dalam analisis kebijakan kepemudaan untuk menunjang transformasi pelayanan kepemudaan yang lebih moderat