RHETORICS IN THE OPENING ADDRESS BY SOEKARNO AND SUSILO BAMBANG YUDHOYONO AT THE ASIA AFRICA CENFERENCE

A speech of human being has the best number of styles, forms and it  has beautiful meaning each words. Thus, a success of the speech cannot be measured by loud applause of the people but can be measured from the result of an enlightening speech. This research deals with the differences of rhetoric styles: the use of ‘us’ and ‘them’ between speeches of Soekarno and Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). This analysis is aimed to find out the characteristic of the speakers reflected the rhetorical style through the use of modality and to find out the ideology of the speakers reflected the use of pronouns (us and them). This research uses the method of qualitative that requires collecting textual data and examining the text by using it. It employs Aristotelian rhetoric’s framework by Herrick (2005) focus on logos, pathos, and ethos. It is combined with systemic functional linguistics framework by Humphrey, et all (2003) reflected the use of modality: modal verbs. Additionally, it employs critical discourse analysis framework on polarizing structure between US and THEM by Van Dijk (1995). First, the findings between speeches of Soekarno and SBY shows to be neutral: they use all aspect of rhetoric styles. Therefore, Soekarno has dominant aspects of ethos (28,7% of logos, 21,8% of pathos, 49,3% of ethos). Meanwhile, the findings of SBY's speech also has most dominant aspects of ethos (20% of logos, 8,5%of pathos, and 71,5% of ethos). Second, the findings show Soekarno and SBY uses the first plural pronouns of ‘us and them’ to build the five principles of Pancasila are reflected towards the rhetoric styles. Also, Soekarno adopts the use of ‘us’ and ‘them’ in the five principles: were called ‘Pancasila’: religiosity, humanitarianism, unity, nationalism, social justice as his ideologies. However, SBY adopts most dominant of the use of ‘us’ in the three of the five principles (pancasila): humanitarianism, unity or nationalism, unity as his ideologies at the Asia Africa Conference. Those conclude that the speakers have different styles and ideologies to persuade and send the messeges to the audiences towards their idea. Pidato manusia memiliki jumlah gaya, bentuk, dan makna yang indah di setiap kata. Dengan demikian, keberhasilan pidato tidak dapat diukur dengan tepuk tangan meriah masyarakat, tetapi dapat diukur dari hasil pidato yang mencerahkan. Penelitian ini membahas tentang perbedaan gaya retorika: penggunaan 'kita' dan 'mereka' antara pidato Soekarno dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Analisis ini bertujuan untuk mengetahui ciri-ciri penutur yang mencerminkan gaya retorika melalui penggunaan modalitas dan untuk mengetahui ideologi penutur yang tercermin dari penggunaan kata ganti (kita dan mereka). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang membutuhkan pengumpulan data tekstual dan menelaah teks dengan menggunakannya. Ini menggunakan kerangka retorika Aristotelian oleh Herrick (2005) fokus pada logo, pathos, dan ethos. Dikombinasikan dengan kerangka linguistik fungsional sistemik oleh Humphrey, et all (2003) mencerminkan penggunaan modalitas: modal verbs. Selain itu, menggunakan kerangka analisis wacana kritis pada struktur polarisasi antara AS dan MEREKA oleh Van Dijk (1995). Pertama, temuan antara pidato Soekarno dan SBY menunjukkan netral: mereka menggunakan semua aspek gaya retorika. Oleh karena itu, Soekarno memiliki aspek etos yang dominan (28,7% logo, 21,8% pathos, 49,3% etos). Sementara itu, temuan pidato SBY juga memiliki aspek etos yang paling dominan (20% logos, 8,5% pathos, dan 71,5% ethos). Kedua, temuan menunjukkan Soekarno dan SBY menggunakan kata ganti jamak pertama ‘kita dan mereka’ untuk membangun lima sila Pancasila yang tercermin dalam gaya retorikanya. Juga, Soekarno mengadopsi penggunaan 'kami' dan 'mereka' dalam lima prinsip: disebut 'Pancasila': religiusitas, kemanusiaan, persatuan, nasionalisme, keadilan sosial sebagai ideologinya. Namun, SBY mengadopsi paling dominan penggunaan 'kita' dalam tiga dari lima prinsip (pancasila): kemanusiaan, persatuan atau nasionalisme, persatuan sebagai ideologinya di Konferensi Asia Afrika. Mereka menyimpulkan bahwa pembicara memiliki gaya dan ideologi yang berbeda untuk membujuk dan mengirim pesan kepada audiens terhadap ide mereka