Sastra agama dan kuasa sosial: Analisis Wacana Kritis atas Nahj al-Burdah Karya ?Abd al-Ḥamīd bin Aḥmad al-Khaṭīb al-Minangkabawi

Buku ini mengkaji representasi hubungan sastra agama dan kuasa sosial dalam nahj al-Burdah karya ?Abd al-Ḥamīd bin Aḥmad al-Khaṭīb al-Minangkabawi (1316-1381 H/1898-1961 M). Penelitian ini menunjukkan bahwa kasidah nahj al-Burdah karya ?Abd al- Ḥamīd memuat wacana puritanisme dalam madḥ al-Nabī dengan melegitimasi kembali otoritas Tuhan dalam karyanya. Wacana puritanisme yang ditawarkannya terkait dengan ideologi Wahhabi yang berkembang saat karya tersebut ditulis. Hal ini dibuktikan melalui; pertama, strategi wacana yang digunakan penyair dengan menghadirkan representasi ideologi Wahhabi dalam teks sebagai basis kritik terhadap kasidah burdah al-Būṣiri. Kedua, praksis wacana yang dipengaruhi konteks sosial penyair dan penerbit salafi kerajaan Arab Saudi sebagai mitranya. Ketiga, wacana yang diangkat penyair dalam teks terkait erat dengan wacana puritanisme yang diusung elite penguasa Saudi saat itu, misalnya dalam larangan ghuluww dan penggunaaan laqab sayyid. Kepentingan penyair mengangkat wacana ini untuk menghadirkan penulisan ulang Sīrah Nabawīyah berorientasi al-Quran dan Hadis, serta ajaran al-salaf al-ṣāliḥ terkait agenda Wahhabi dan sebagai bentuk pembelaan terhadap tuduhan orientalis terkait konsep Jabariyah. Melalui studi kepustakaan, karya nahj al-Burdah yang terdiri dari 185 bait dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan metode analisis wacana kritis, model Norman Fairclough. Kajian ini mendukung pendapat Pierre Bourdieu bahwa bahasa sebagai praktik sosial dipandang sebagai bagian dari cara hidup sebuah kelompok sosial dalam mencapai tujuan-tujuan praktis. Juga sependapat dengan Stetkevych yang menyebutkan bahwa karya madḥ al-Nabī dalam perkembangannya tidak hanya dalam bentuk mu?āraḍah terhadap persoalan ritual tetapi juga ditransformasi sesuai dengan tujuan politik dan agama penyair. Kajian ini juga mendukung Huda Fakhreddine bahwa karya madḥ al- Nabī era modern telah menjadi ruang negosiasi asing dan pribumi, modern dan tradisional terutama dalam konteks gerakan neo-klasik. Sebaliknya, kajian ini membantah Zakī Mubārak bahwa madḥ al- Nabī merupakan perasaan keagamaan penyair dan sastra yang tinggi yang muncul dari hati yang benar dan ikhlas. Hal ini tentunya mengabaikan aspek konteks sosial dari sebuah karya madḥ al-Nabī