Pola asuh orang tua dalam pengembangan sosialisasi anak tunadaksa: studi pengasuhan anak tunadaksa di SLB Negeri Semarang

Pola asuh merupakan keseluruhan bentuk interaksi yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak. Bentuk interaksi tersebut adalah berupa kebutuhan fisik, dan kebutuhan psikologis. Ada tiga bentuk pola asuh yakni: pola asuh otoriter, pola asuh demokratis atau otoritatif, dan pola asuh permisif. Setiap bentuk pola asuh itu memiliki kekurang dan kelebihanya masing-masing. Pola asuh orang tua juga yang nantinya akan berpengaruh terhadap perkembangan sosialisasi anak baik itu di keluarga ataupun di masyarakat. Fokus utama dalam penelitian ini adalah anak tunadaksa yang berprestasi di sekolah baik dalam bentuk akademik maupun non akademik. Hal tersebut ditunjukkan oleh David yang berprestasi di bidang olah raga dan mendapat juara II lempar bola basket di tingkat provinsi dan Natasa yang mendapatkan juara III balap kursi roda tingkat nasional. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif, dengan tujuan dapat menggambarkan secara jelas dan rinci mengenai suatu fenomena yang terjadi di lapangan. Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi, wawancara, dokumentasi, dan kajian pustaka. Jumlah informan dalam penelitian ini berjumlah 10 orang yang terdiri dari, 4 orang tua anak tunadaksa yang berprestasi, 4 guru yang mengajar anak tunadaksa, serta 2 anak tunadaksa yang berprestasi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis induktif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Subjek David, ia mendapatkan sosialisai primer yang suportif dari keluarga, hal ini terlihat dari dibebaskannya David untuk mempelajari apa yang ia sukai tanpa ada larangan, disamping itu ia juga diajarkan untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab atas semua keputusan yang diambilnya. Lalu bentuk komunikasi pun terbuka dengan orang tua, sehingga David pun dapat menyampaikan perasaan dan pemikirannya secara terbuka tanpa ada rasa intimidasi. Tetapi, dengan kondisi kedua orangtuanya yang sibuk bekerja, frekuensi komunikasi antara David dan orang tua pun cenderung terbatas. Sedangkan, untuk proses sosialisasi sekunder yang diterima subjek David bisa dikatakan berjalan dengan baik, David mendapatkan tempat dan kepercayaan di dalam masyarakat, hal ini terbukti dari David yang dijadikan tim inti pemusik gereja. Sedangkan Subjek Natasa dalam proses sosialisasi primernya, ia dikelilingi oleh keluarga yang menerima dan mendukungnya. Natasa juga memiliki orang tua yang selalu menempatkan kenyamanan dan keputusanya di tempat yang paling utama. Dari kepercayaan yang diberikan orang tuanya ini, ia diajarkan untuk bertanggung jawab atas semua pilihan yang diputuskannya serta ditanamkan sikap mandiri agar tidak mengandalkan orang lain. Sedangkan, untuk proses sosialisasi sekunder yang diterima subjek Natasa juga berjalan dengan baik, dalam lingkungan tempat tinggalnya, ia diterima dan tidak dibeda-bedakan hanya karena ia adalah seorang tunadaksa, hal ini dapat dibuktikan dari teman-teman sebayanya tidak sungkan untuk bermain dan mengerjakan tugas bersama Natasa, ia juga diikutsertakan dalam kegiatan sosial dan keagamaan dalam lingkungannya seperti pengajian umum serta solat berjamaah