Fajar Baru Islam Indonesia

Buku ini sebenarnya berasal dari naskah buku yang penulis beri judul Indonesia Memimpin Dunia Islam: Mempersiapkan strategi, Merespons Harapan. Naskah ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dan judulnya diganti menjadi Fajar Baru Islam Indonesia? Kajian Komprehensif Atas Arah Sejarah dan Dinamika Intelektual Islam Nusantara. Penggantian judul ini karena pertimbangan-pertimbangan pemasaran (marketing) semata. Ketika Negara-negara Islam di sekitar kelahiran Islam (Makkah) dilanda konflik internal maupun peperangan dengan Negara lain baik secara terang-terangan melalui pengerahan militer seperti Israel di Palestina, Uni Soviet dan Amerika di Afghanistan maupun memprovokasi kelompok oposisi sehingga menimbulkan perang saudara seperti di Mesir, Suriah, Yaman, Libya, dan Tunisia, maka energi Negara-negara Islam itu habis untuk perang, sedangkan kondisi Negara makin hancur. Pada bagian lain, Negara-negara Islam di kawasan bekas Uni Soviet, Afrika, Indo-Pakistan, apalagi Eropa kecuali Turki belum bisa diandalkan untuk tampil pada garda terdepan memimpin dunia Islam. Dalam kondisi seperti itu, para pemikir Islam internasional mulai menaruh harapan besar pada Indonesia. Negeri ini diyakini memiliki potensi dan peluang yang besar untuk tampil sebagai pemimpin dunia Islam. Saatnya pusat peradaban Islam berpindah ke Indonesia, sebagai pelanjut pusat kejayaan Islam zaman klasik di Baghdad, Irak bagi kawasan Timur dan Cordova, Spanyol bagi kawasan Barat. Harapan pada Indonesia ini didasarkan pada berbagai keunggulan Indonesia disbanding Negara-negara Islam lainnya, antara lain: Indonesia memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia, wilayahnya termasuk paling luas dan paling subur di antara Negara-negara Islam, posisi geografisnya jauh dari pusat konflik (Palestina), memiliki sumberdaya alam yang sangat besar, dan merupakan Negara demokratis terbesar ketika di dunia ini serta Negara demokratis terbesar di dunia Islam. Namun, Indonesia juga memiliki sejumlah kelemahan, antara lain: kualitas pendidikan masih rendah, tingkat perekonomian masih jauh dari harapan, korupsi masih merajalela sedang penegakan hukum masih belum merata, sikap pragmatism masyarakat dan lemahnya semangat kerja, dan masih kuatnya budaya feodalisme yang melekat pada masyarakat Indonesia. Oleh karena itu muncul dua macam rumpun penilaian yang kontras terhadap peran Indonesia dalam memimpin dunia Islam, yaitu penilaian optimis dan pesimis. Penilaian optimis disampaikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Fazlur Rahman, Malik Bennabi, Greg Barton, dan Mahmoud Ahmadinejad. Sedangkan penilaian pesimis disuarakan oleh Harun Nasution, Amin Rais, Nurcholish Madjid, dan Karl Gunnar Myrdal. Sementara itu, A. Syafi’i Ma’arif berubah penilaian dari penilaian pesimis menjadi penilaian optimis. Adapun kondisi lain yang perlu dipertimbangkan oleh penilaian optimis adalah bahwa adanya kesinambungan pembaruan Islam, mainstream Islam Indonesia adalah Islam moderat, yang ditampilkan oleh dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah sebagai penjaga gawang moderasi Islam. Untuk merealisasikan optimisme peran Indonesia sebagai pelopor dunia Islam itu benar-benar menjadi kenyataan, dibutuhkan beberapa strategi, yaitu: para pemikir Islam Indonesia harus membangun pemikiran inovatif-konstruktif, masyarakat Muslim Indonesia harus membudayakan tindakan kreatif-produktif, pemerintah dan para pemimpin harus berusaha menciptakan kebijakan strategis-transformatif, dan seluruh komponen bangsa harus berkonsensus melaksanakan pembangunan secara kolektif-sinergis mewujudkan cita-cita bersama