PRAKSIS AYAT-AYAT MODERASI AGAMA DALAM TAFSIR AL-AZHAR KARYA HAMKA (Analisis Hermeneutika Hassan Hanafi)

Tidak dipungkiri bahwa agama yang dikenal sebagai tuntunan normatif, di dalam teks ajarannya (baca: al-Quran) juga memilki unsur-unsur yang bernuansa radikal, yang mana hal ini sering menjadi akar permasalahan aksi radikal yang berlangsung hinggi kini. Menurut Yusuf al-Qaradhawi radikalisme berakar dari pemahaman agama yang parsial, dangkal, dan kesalahpahaman dalam memahami teks agama. Maka dari itu, dalam usaha untuk mengembalikan dan mengimbangi konsep pemahaman yang utuh terhadap teks agama, penulis akan mengangkat kajian tentang ayat-ayat yang memiliki nuansa moderasi agama dalam al-Quran dengan menggunakan Tafsir al-Azhar karya Hamka sebagai pijakan dalam melihat unsur-unsur penafsiran al-Quran tentang moderasi agama. Problematika yang hadir pada era kini tentu tidak terlepas dari sejarah masyarakat dalam gerakan dan pemikirannya, dengan kata lain penelitian ini secara bersamaan turut menguji efektifitas Tafsir al-Azhar terkait ayat-ayat moderasi agama dalam menjawab masalah eketremitas masyarakat. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan metode penelitian deskriptif-analisis. Pengumpulan data dilakukan melalui dokumentasi berbagai rujukan primer dan sekunder melalui penelusuran literatur pustaka (library research). Untuk menjawab rumusan masalah pada penelitian, penulis menelusuri nilai praksis ayat-ayat moderasi agama yang dianalisis dengan teori hermeneutika Hassan Hanafi, sebagai metode penafsiran yang berorientasi secara intens dalam mewujudkan penafsiran al-Quran yang bermuara pada nilai praksisnya sehingga al-Quran benar-benar dapat menjadi petunjuk hidup bagi manusia. Berdasarkan pada uraian tersebut, penulis mendapatkan hasil kesimpulan bahwa, pertama, moderasi agama dalam Tafsir al-Azhar dapat diindikasikan dalam empat hal yang tidak terpisahkan, yakni: 1) Menjaga keseimbangan dan menerapkan sikap pertengahan pada urusan dunia dan akhirat. 2) Menjaga diri untuk selalu berada di jalan yang lurus, khusyuk, selalu berada dalam kebenaran, tidak terbengkokkan (menyimpang). 3) Menegakkan amar ma‟ruf dan nahi munkar di setiap waktu dan tempat sesuai kemampuannya. 4) Saling menghargai antar umat beragama dan tidak menggeneralisir umat lain dalam perspektif yang negatif. Kedua, penafsiran Hamka memiliki nilai praksis yang spesifik baik dalam segi hablum minannas maupun hablum minallah. Selain itu perbedaan yang ada secara bersamaan juga memperlihatkan sebuah gaya tafsir praksis yang khas oleh Hamka. Hamka memiliki gaya tafsir praksis yang lebih segmentatif yakni tafsir praksis yang tertuju pada segmen masyarakat umum Indonesia. Selain itu Hamka telah membangun suatu karakter tafsir praksis yang tetap bergaya tartib mushafi. Meskipun metode ini tidak membawa signifikansi sebagaimana yang diinginkan oleh Hanafi dalam tafsir maudhu‟i, namun Hamka dengan keterampilan sastrawinya telah menciptakan gaya tafsir mushafi yang memiliki nuansa integratif sehingga walaupun Hamka menggunakan tartib mushafi, namun dapat menciptakan kesan intertekstualitas yang menguatkan argumennya