Konstruksi putusan hakim pengadilan agama dalam perkara harta bersama perspektif hukum islam dan progresifitas hukum

Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif, dengan menggunakan pendekatan perbandingan hukum (comparative approach). Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah putusan Pengadilan Agama No. 70/Pdt.G/2002/PA.Mrk, No. 330/Pdt.G/2004/PA.Tgrs, dan No. 278/Pdt.G/2005/PA.Bkt. dan hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, dan hakim Mahkamah Agung. Adapun sumber data sekunder yang digunakan adalah Alquran, Hadis, Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan segala referensi yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian ini menunjukkan bahwa majelis hakim Pengadilan Agama di dalam memutus perkara harta bersama tetap berdasarkan ketentuan hukum yang ada, yakni Pasal 97 KHI. Akan tetapi di dalam penerapannya, majelis hakim menyimpang dari ketentuan tersebut dengan mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain faktor kontribusi, nilai kemanfaatan dan rasa keadilan, dalil hukum, asal-usul harta bersama, dan pemahaman kontekstual terhadap suatu ketentuan hukum. Sehingga putusan yang dihasilkan menjadi progresif dan cocok untuk diterapkan pada saat ini, mengingat perkembangan masyarakat yang semakin kompleks. Penelitian ini mendukung pendapat Evi Djuniarti (2017) dan M. Beni Kurniawan (2018) yang membahas pembagian harta bersama jika diputuskan dengan pembagian lebih besar untuk sang istri dikarenakan jauh lebih dominan di dalam perolehan harta bersama. Begitu juga dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ismail M. Syah di dalam disertasinya, ia mengemukakan bahwa di dalam hukum Islam mengatur harta bersama, dengan dianalogikan kepada syirkah `abdan sehingga dalam penerapan hukumnya di dalam perolehan harta semasa perkawinan dikategorikan sebagai harta bersama. Kemudian penelitian ini tidak sependapat dengan Arifah S. Maspeke dan Akhmad Khisni (2017) yang mengatakan bahwa di dalam hukum Islam memang tidak diatur mengenai harta bersama, sehingga dalam penerapannya harus diadakan perjanjian perkawinan guna penggabungan harta. Dan dalam pembagian harta bersamanya harus sesuai dengan ketentuan Pasal 97 KHI dengan pembagian 1/2 ? 1/2 bagian, tanpa mempermasalahkan didapatkan dan didaftarkan atas nama siapa