Teknologisasi Metafor, Demistifikasi Trauma: Alegori Dalam Film 27 Steps Of May

This article aims at elaborating the issues of trauma, violence against women and their agencies depicted in Indonesianfilm entitled 27 Steps of May. By situating the issues within the theoretical framework combining theories on allegoryand metaphor as elaborated by Jameson (2006), and Jakobson (1956), as well as theoretical premises pertaining to filmtechnology by Turner (2002), this study shows how film as a form of narrative texts can visualize those issues throughavailable technological features (camera techniques and mise-en-scene). Our close reading finds that the film presentsmetaphors of rape, women agency, amnesia and trauma through the presentation of the characters (May, Bapak, Pesulapand Kurir), also the mise-en-scene in its scenes. We argue that this film visualizes an allegory of national trauma inrelation to Indonesian May 1998 riots, specifically the violence towards marginalized groups (Chinese and women),which also represents the Indonesian collective expectation in acknowledging the national trauma jointly.Artikel ini bertujuan untuk mengelaborasi isu-isu trauma, kekerasan terhadap perempuan dan agensi mereka sebagaimana digambarkan dalam film Indonesia berjudul 27 Steps of May. Dengan mendudukkan isu-isu tersebut dalam kerangka teoretis yang merangkai teori alegori, metafora sebagaimana yang dijabarkan oleh Jameson dan Jakobson serta premis-premis teoretis tentang teknologi film yang ditawarkan Turner, penelitian ini menunjukkan betapa film sebagai bentuk naratif dapat memvisualisasikan isu-isu tersebut melalui peranti-peranti teknologis yang tersedia seperti teknik kamera dan mise-en-scene. Pembacaan ketat yang diterapkan dalam kajian ini menemukan bahwa film ini menampilkan metafora-metafora isu pemerkosaan, agensi perempuan, amnesia dan trauma melalui tokoh-tokoh film (May, Bapak, Pesulap dan Kurir) juga mise-en-scene dalam adegan-adegannya. Kami berargumentasi bahwa film ini memvisualisasikan alegori trauma nasional sehubungan dengan kerusuhan bulan Mei 1998 di Indonesia yang secara khusus berfokus pada kekerasan terhadap kelompok marginal (perempuan dan etnis Tionghoa) sekaligus merepresentasi ekspektasi kolektif bangsa Indonesia dalam menerima dan mengakui trauma nasional bersama-sama