ekologi berwawasan gender dalam perspektif Al-qur'an

Masalah kerusakan lingkungan menjadi salah satu isu sentral abad ini. Berbagai riset tentang faktor penyebab kerusakan lingkungan seperti misalnya yang dilansir Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 2007 menyatakan, salah satu faktor utama penyebab kerusakan lingkungan adalah gaya hidup manusia modern yang menerapkan pola interaksi kurang harmonis dengan alam. Penyebab kerusakan lingkungan jelasnya adalah; penggundulan hutan: 17,4%, limbah sampah: 2,8 %, penggunaan energi: 25%, pertanian: 13,5 %, industri: 19,4%, bangunan rumah dan komersial: 7,9 %, dan transportasi sebanyak 13,1 %. Dan semua ini terkait dengan ulah manusia. Presentase ini mengandung pola hidup dan interaksi manusia yang kurang harmonis dengan alam secara umum. Bahkan, banyak tokoh ekofeminis menyatakan, ada korelasi antara sikap dominatif laki-laki terhadap perempuan, dengan kerusakan lingkungan. Pada sisi lain, perempuan dan bumi, dipandang sama-sama memiliki kesamaan karakter feminin, seperti: pasif dan submisif. Persepsi tentang bumi sebagai ibu adalah metapora yang memang telah digunakan berbagai budaya sepanjang sejarah (Luanne Armstrong, 1995). Buku ini mengkaji tentang diskursus seputar ekologi, yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Ia juga berusaha menemukan akar permasalahan kerusakan lingkungan dan solusi yang ditawarkan, sekaligus memberikan critical assesment terhadap pandangan tokoh ekofeminis mengenai karakter dominatif laki-laki yang mempengaruhi pola interaksinya kepada sesama manusia dan lingkungan. Perjuangan para aktifis gender saat ini bukan lagi hanya berkutat seputar masalah hak dan kewajiban suami isteri, hak waris, peran sosial, politik, ekonomi dan akses pendidikan bagi laki-laki dan perempuan, seperti terlihat dalam kajian Musdah Mulia (2005), Amina Wadud (1999), Barbara Freyer Stowwaser (1994), Laila Ahmad (1992), Simone De Beauvoir (1989), dan lain-lain. Melainkan, seperti argumen iii Josephine Donovan (1994), gerakan aktifis gender pasca 1990-an kian cenderung juga lebih diwarnai isu seputar kerusakan lingkungan. Dalam membaca masalah kerusakan lingkungan, para tokoh feminis seperti Nawal Amar (2009), Linda Vance (1997) Agarwal Bina (1992), dan Carolyn Merchant (1980) berpendapat, ada korelasi antara kerusakan lingkungan dengan sikap dominatif laki-laki terhadap perempuan. Sekali lagi, bumi diidentikan dengan perempuan, karena sama-sama memiliki karakter, seperti: pasif, empatik, submisif dan lainlain. Karena itu baik bumi dan perempuan sama-sama menderita imbas sifat maskulin laki-laki, seperti karakter eksploitatif dan dominatif. Karya ini mencoba menjawab permasalahan seputar persepsi sterotip laki-laki dan perempuan berdasarkan deskripsi al-Qur�an mengenai karakteristik manusia yang memiliki keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam setiap individu manusia. Manusia memiliki hirarki tubuh yang terdiri dari: ruh, hati, akal dan jasad. Keseluruhan elemen ini mengambil posisi penting masing-masing dalam fungsinya pada kesatuan diri manusia. Elemen hati dan akal, mengemban peran penting dalam �menimbang� baik dan buruk dalam setiap aktifitas manusia. Karakter maskulin adalah karakter yang berhubungan dengan pertimbangan logika/akal manusia. Karena itu karakter yang terkait intelektualitas manusia masuk dalam kategori ini. Sedangkan karakter feminin adalah karakter yang berhubungan dengan pertimbangan hati. Sebab itu, karakter yang berhubungan dengan intuisi dikategorikan pada karakter feminin. Namun, baik karakter feminin dan maskulin samasama memiliki sisi/nilai positif dan negatif. Karakter feminin dan maskulin yang memiliki sisi/nilai negatif selama ini menjadi perdebatan akademis seputar pandangan sterotip bagi laki-laki dan perempuan, yang mengkristal dalam pola pikir kebanyakan manusia. Karakter feminin positif adalah karakter yang cenderung mengalah pada hal lebih tinggi, yaitu akal. Contoh karakter ini antara lain adalah submisif, empati, dan sabar. Sedang karakter maskulin positif adalah karakter yang dapat menjalani fungsi dengan bijak. Contoh karakter ini yaitu visioner, kompetitif, dan obyektif. Sebaliknya, karakter feminin negatif adalah karakter yang cenderung mengalah kepada hal lebih rendah, yaitu hawa nafsu. Contoh karakter ini adalah egois, subyektif, dan suka berkeluh kesah. Sedangkan karakter maskulin negatif adalah karakter dominatif dan menuhankan iv diri. Contoh karakter ini yaitu arogan, eksploitatif, perusak dan ambisius. Kriteria berbagai karakter itu tentu tidak dapat digeneralisasi bagi laki-laki atau perempuan begitu saja. Baik laki-laki dan perempuan memiliki potensi yang sama. Artinya, karakter dominatif yang dinisbahkan kepada laki-laki, bukan hanya milik laki-laki dalam pandangan al-Quran. Demikian dengan karakter pasif dan empatik yang hanya dinisbahkan kepada perempuan juga tidak ditemukan dalam al- Qur�an. Demikian halnya dengan berbagai macam kriteria feminin yang hanya diperuntukkan bagi perempuan, dan karakter maskulin yang dikhususkan bagi laki-laki. Sementara itu, perempuan sering dianggap sebagai makhluk yang hanya boleh memiliki karakter feminin, dengan alasan struktur biologisnya. Sebaliknya, laki-laki adalah makhluk yang paling pantas memiliki karakter maskulin karena kekuatan fisiknya. Wacana tentang hal ini pada tataran empiris pernah diungkapkan misalnya oleh: Garai dan Scheinfield (1968), Wright (1971), Unger dan Lips (1979), McGrath (1990), dan Eagly (1995). Sebaliknya dalam tatanan teoritis, pandangan mufassir yang belum komprehensif mengenai ungkapan laki-laki lebih unggul dalam kecakapan intelektual dibanding perempuan juga pernah diungkap al-Asfaha>ni> (W. 406 H), Fakhr al-Ra>zi> (L. 544 H), al-Zamakhshari> (467-538 H), al-Qurt}ubi> (W. 671), al-Biqa>�i> (809-885 H), al-S{abu>ni> (w. 1928 M), Hamka (1908-1981 M), dan T{aba>t}aba>�i> (1321-1404 H). Pendapat para penulis di atas, berbeda dengan pendapat penulis seperti Ibn �A (W. 880 H), al-Mara>ghi> (L. 1881 M), Sachiko Murata (1992), Amina Wadud (1999), Zaitunah Subhan (1999), Nasaruddin Umar (2001), Simone de Beauvoir (2003), Musdah Mulia (2004) Muhammad Quraish Shihab (2005), dan Slamet Firdaus (2011), yang menyatakan perbedaan potensi intelektual dan emosional manusia tidak ditentukan berdasarkan perbedaan jenis kelamin/biologis. Posisi buku ini adalah mendukung pemikiran kubu ini. Dalam tatanan empiris, Louann Brizandine dalam bukunya The Female Brain (2006) menyatakan, pemisahan potensi intelektual bagi laki-laki dan emosional bagi perempuan adalah suatu hal yang tidak dibenarkan dalam sains.Menurut Brizandine, laki-laki dan perempuan memiliki level yang sama dalam segi intelegensinya. Bahkan Brizendine menyatakan, otak perempuan juga memiliki keunikan kecerdasan luar biasa, kerja otak yang sempurna, kecakapan dalam menjaring koneksi, v kemampuan hati membaca situasi dan menguasai emosi, mengatur nada suara dan menenangkan pikiran, serta kemampuan memecahkan konflik. Pendapat senada juga diungkapkan Dadang Hawari (2004), seorang psikiater Indonesia kenamaan. Hawari menyatakan, dalam hal struktur otak secara anatomis tidak ada perbedaan antara otak laki-laki dan perempuan. Faktor lingkungan membuat fungsi otak masing-masing manusia menjadi berbeda-beda tingkatan kualitasnya. Karya ini memberi warna berbeda dalam perdebatan akademis di atas. Temuan tentang isyarat identitas gender dalam ekologi manusia. Buku ini mengacu kepada tiga isyarat; yaitu: 1) keberpasangan secara biologis, 2) berbagai istilah yang menunjuk kepada laki-laki dan perempuan dalam interaksinya, dan 3) keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam setiap individu manusia, yang mengindikasikan potensi intelektual dan emosional serta peran yang sama dalam interaksi sosialnya. Selain temuan mengenai isyarat identitas gender pada ekologi manusia dalam al-Qur�an juga ditemukan setidaknya ada 3 (tiga) isyarat identitas gender dalam ekologi alam, yaitu: 1) keberpasangan secara biologis, 2) keberpasangan dari segi karakter feminin dan maskulin, dan 3) kata ganti/d}ami>r yang menunjuk kepada jenis kelamin laki-laki (mudhakkar maja>zi>) dan jenis kelamin perempuan (mu�annath maja>zi>). Temuan menarik lain yang diungkapkan adalah; keseimbangan karakter feminin dan maskulin juga dimiliki dalam setiap individu makhluk, yang menjadi representasi alam raya. Namun karakter feminin dan maskulin tersebut tidak memiliki nilai/sisi negatif. Hal ini karena alam senantiasa tunduk pada ketetapan Allah tanpa membelot sedikitpun (Q.S. al-H{ajj [22]: 65 dan Luqma>n [31]: 20) sebagai salah satu ciri dari karakter negatif. Ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi manusia agar juga dapat menyeimbangkan karakter feminin dan maskulin yang memiliki nilai positif dalam individu masing-masing, dan tunduk pada ketentuan Tuhan. Keseimbangan karakter feminin dan maskulin dengan nilai positif membuat manusia memiliki perfeksi karakter, atau sebagai perfect human/manusia sempurna. Akhirnya, penulis buku ini berupaya memperkaya literatur yang mengeksplorasi ayat-ayat kawniah/alam raya yang selama ini belum banyak dibahas. Menurut T{ant}a>wi> Jauhari> Guru Besar Tafsir di Universitas Cairo (1870-1940 M), di dalam Al-Qur�an terdapat lebih dari 750 ayat-ayat kawniah. Artinya, ayat tentang alam mengambil 13% jumlah ayat al-Qur�an yang menurut jumhur ulama berjumlah 6666. Namun sayang, belum banyak mufasir yang memberikan perhatian pada isyarat sains yang terkandung di dalamnya. Hal ini sangat timpang jika dibandingkan dengan cabang ilmu lain seperti fiqih yang memiliki ribuan kitab, meski hanya ada 150 ayat yang membahas tentang ilmu ini. Para mufassir perlu lebih �membuka wawasan� dan menjalin usaha koperatif dengan para saintis agar dapat menangkap makna tersembunyi di balik isyarat ilmu pengetahuan yang terkandung di dalam ayat-ayat kawniyah secara lebih obyektif. Menurut mufasir Fakhr al-Ra>zi> (L. 544 H), Al-Qur�an sebagai sumber sains banyak menghamparkan isyarat ilmu pengetahuan. Al- Quran selalu obyektif; manusia tidak akan menemukan hal yang bertentangan dalam segi apapun termasuk dalam sains (Subh}i S{a>lih}, 1974). Jika ada sesuatu yang ditemukan manusia dan tidak sesuai dengan kandungan al-Quran, kitab suci ini mempersilakan kepada kecerdasan manusia melakukan riset, sehingga akhirnya manusia mendapatkan kebenaran dan menemukan berbagai macam ilmu pengetahuan. Buku yang semula merupakan disertasi Doktor pada Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini mencoba mengintegrasikan pandangan yang selama ini masih terpisah dalam memandang kerusakan lingkungan, faktor penyebab dan solusi yang ditawarkan. Penulis menyatukan antara tiga jenis ilmu dalam tradisi ilmiah Islam, yaitu: �ilm naqliyah/transmitted science (ilmu agama), �ilm �aqliyah/rational science (ilmu teoritis), dan �ilm �amaliyah/practical science (ilmu praktis); ketiganya adalah matarantai ilmu yang tidak bisa terpisahkan satu sama lain. Artinya, interkoneksi ketiga cabang ilmu dalam tradisi ilmiah Islam ini, dapat menjadi solusi efektif lebih komprehensif untuk dapat dipahami dan diaplikasikan umat manusia. Metode tafsir maud}u�i yang digunakan dalam penelitian ini sangat membantu penulis menggali makna ayat-ayat kauniyah yang belum banyak diperbincangkan mufasir. Dipertajam dengan metode historis, kritis kontekstual, karya ini bukan hanya mendeskripsikan temuan dari seputar ayat-ayat kauniyah yang berhubungan dengan kajian gender, tetapi juga menganalisis dan memformulasikan langkah kongkrit sebagai solusi praktis. Teori ekohumanis teosentris yang diformulasikan penulis, meniscayakan umat manusia untuk menjalin interkoneksi dan interaksi vii harmonis di antara manusia dengan dirinya sendiri (h}abl ma�a nafsih), manusia dengan sesama manusia (h}abl ma�a ikhwa>nih), manusia dengan alam raya (h}abl ma�a bi>�atih) dan manusia dengan Allah (h}abl ma�a Kha>liqih), tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Manusia adalah causal factor kerusakan lingkungan. Oleh sebab itu manusia juga yang dapat memperbaiki sekaligus sebagai konservator lingkungan. Tatanan ideal al-Qur�an yang diungkap dalam buku ini perlu ditindaklanjuti dalam tatanan empiris. Karena upaya kontekstualisasi berbagai ajaran normatif dan berbagai isyarat ilmu pengetahuan dari ayat-ayat al-Qur�an dalam kehidupan manusia, akhirnya dapat menciptakan baldatun t}ayyibah wa Rabbun ghafu>r. Dengan pembahasan yang komprehensif, tidak ragu lagi karya ini memberikan kontribusi signifikan pada dunia keilmuan. Karya ini merupakan bacaan wajib bagi setiap mereka yang peduli pada masalah kerusakan lingkungan, kesetaraan gender, dan perspektif al-Qur�an tentang hal-hal terkait