Berbenah Untuk Terarah: Negosiasi Masyarakat Bantaran Sungai Terhadap Praktik Normalisasi Ciliwung (Studi Kasus Perkampungan KAKC)

Sungai beserta lingkungan di sekitarnya, merupakan sebuah bentang alam yang secara normatif harus dijaga kelestariannya. Terusiknya aliran sungai oleh keberadaan aktivitas manusia di sekitarnya, merupakan hal yang kerap ditemui khususnya di kawasan perkotaan seperti Jakarta. Tingginya minat untuk menetap di Jakarta yang diikuti dengan menyusutnya ketersediaan lahan dan keterbatasan ekonomi beberapa kelompok masyarakat, mengakibatkan daerah tepi sungai kerap diokupasi untuk didirikan tempat bermukim di atasnya, yang mana lokasi ini seringkali diidentifikasi sebagai kawasan kumuh, yang keberadaannya merusak estetika tata kota dan membahayakan bagi warga Jakarta karena dianggap berkontribusi dalam mendatangkan banjir yang rutin menyambangi ibukota. Sebagai pihak yang bertanggung jawab, pemerintah khususnya untuk wilayah DKI Jakarta memberlakukan berbagai peraturan seperti keberadaan sempadan sungai, hingga pengaturan yang komprehensif mengenai tata ruang. Bersamaan dengan ditegakkannya pengaturan, di wilayah bernama perkampungan KAKC timbul dualisme kepentingan antara masyarakat dan pemerintah yang berujung pada hilangnya kesepakatan untuk mematuhi regulasi dari sisi masyarakat, serta usaha pengeliminasian permukiman yang tidak taat aturan di sisi pemerintah. Kontestasi vertikal ini, adalah satu hal yang berusaha digambarkan di dalam penelitian, di mana pemerintah selaku pemangku kebijakan bergerak berdasar logika kuantitatif dan kebaikan bersama, serta masyarakat yang memiliki pemahaman empiris mengenai lingkungannya, berjuang dalam bentuk reformasi permukiman dan sumber daya manusianya untuk sedikit menyelaraskan diri dengan Jakarta, demi menjauhkan stigma ‘membahayakan’ bagi kota. Dengan mengedepankan metode penelitian kualitatif yang menekankan pada wawancara etnografis serta pengalaman empiris penulis, penelitian ini sedikit banyaknya dapat menggambarkan logika pembangunan dari sisi pemerintah, beserta kompleksitas gerakan KAKC dalam membangun jaringan untuk dikontestasikan dengan kekuatan yang lebih mapan. Usaha masyarakat KAKC untuk melakukan penataan menyeluruh, pada tahap ini seakan tidak menyisakan alasan dan cenderung mempertanyakan kelayakan sebuah regulasi untuk terus bergulir, terlebih pasca kepemimpinan Jakarta berganti. Meski terdapat asa, belum ada kepastian konstitusional yang dapat menjamin akhir cerita dari keberadaan KAKC ke depan