Putusan Pengadilan Agama Banjarmasin Tentang Kadar Nafkah Terhutang (Analisis Putusan Nomor 0674/Pdt.G/2011/PA.Bjm)

Ratna, 2013, Putusan Pengadilan Agama Banjarmasin Tentang Kadar Nafkah Terhutang (Analisis Putusan Nomor 0674/Pdt.G/2011/PA.Bjm) : Skripsi, Jurusan Hukum Keluarga (Akhwal Syahshiyyah) Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam. Pembimbing : (I) Hj. Gusti Muzainah, SH, MH (II) Diana Rahmi, S.Ag, MH.\ud \ud Penelitian ini dilatarbelakangi dari adanya gugatan kadar nafkah terhutang yang diajukan oleh seorang istri ke Pengadilan Agama Banjarmasin dengan nomor Putusan 0674/Pdt.G/2011/PA.Bjm yang mana dalam putusan ini gugatan tersebut tidak dikabulkan sepenuhnya oleh Majelis Hakim, melainkan hanya sebagian saja. meskipun dalam hal ini sebenarnya istri termasuk pihak yang lebih tahu dengan kebutuhan dirinya, karena kedudukannya sebagai ibu rumah tangga. Penulis melihat, putusan Majelis Hakim tersebut memunculkan suatu persoalan di pihak istri, yakni tidak diperhatikannya kebutuhan istri. Sehingga penulis merasa putusan tersebut perlu diteliti lebih lanjut guma mengetahui bagaimana pertimbangan hukum yang telah dilakukan oleh Majelis Hakim sehingga bisa diketahui apakah bisa dipertanggung jawabkan secara legal formal.\ud Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif berupa studi dokumenter dimana penulis mengkaji putusan Pengadilan Agama Banjarmasin tentang kadar nafkah terhutang. Analisis yang digunakan dalam penelitian berupa analisis kualitatif yang menghasilkan temuan bahwa : Pertimbangan hukum yang dijadikan hakim dalam menentukan kadar nafkah terhutang yakni alat bukti saksi dan azas kepatutan. Perihal putusannya, baik dalam hukum Islam maupun hukum positif, terhadap penentuan kadar nafkah terhutang tidak diatur secara spesifik. Jumhur ulama menyatakan bahwa kadar nafkah adalah diwajibkan dengan ukuran yang mencukupi, tidak ada ketentuan yang mengikat. Hanya saja Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 24 Ayat (2) huruf a jo. Kompilasi Hukum Islam Pasal 136 Ayat (2) huruf a menyatakan bahwa pengadilan dapat menentukan nafkah yang harus ditanggung suami. Terlebih ini putusan verstek, sehingga Majelis Hakim memiliki hak sepenuhnya dalam menentukan kadar nafkah terhutang yang dianggap ukuran tersebut mencukupi, sebagaimana menurut aturan fiqih