KONSEP BIRRUL WĀLIDAIN DALAM AL-QUR’AN (STUDI KOMPARATIF ANTARA PENAFSIRAN SAYYID QUTB DALAM KITAB TAFSIR FĪ ẒILAL AL-QUR’AN DENGAN PENAFSIRAN MUHAMMAD ‘ALĪ AL-ṢĀBŪNĪ DALAM KITAB TAFSIR ṢAFWAH AT-TAFĀSĪR)

Dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat tidak akan terlepas dari orang yang usianya lebih tua, sebab pada dasarnya manusia dalam mengarungi jenjang kehidupan adalah berlanjut dari generasi ke generasi berikutnya. Karenaitu, Islam mengatur bagaimana seharusnya generasi yang lebih muda bergaul dengan sopan dan santun terhadap generasi yang lebih tua. Dan orang yang lebih dekat dengan kita yang usianya lebih tua adalah kedua orang tua. Dalam hal ini terdapat cendekiawan muslim kekinian yang mempunyai konsep tinggi terhadap kehidupan muslim dunia. Dialah Sayyid Qutb dan Muhammad ‘Alī al-Ṣābūnī dengan karyanya yaitu kitab tafsir FīẒilal Al-Qur’an dan Ṣafwah At-Tafāsīr. Kedua tokoh mufassir di atas sangat mampu dan mempunyai pandangan yang luas dan memadai tentang makna birrulwālidain. Selain itu ada tiga hal yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan penelitian ini, yakni : pertama bagaimana penafsiran Sayyid Qutb dan ‘Alī al-Ṣābūnī tenang birrul wālidain dalam al-Qur’an, kedua bagaiamana perbandingan penafsiran Sayyid Qutb dan ‘Alī al-Ṣābūnī tentang ayat-ayat birrul wālidain, ketiga bagaimana formulasi positif birrul wālidain di zaman kontemporer sekarang ini. Jenis penelitian ini adalah library research (penelitian pustaka) dengan sifat Deskriptif Analitik. Adapun pengambilan datanya dengan pengumpulan dari pustaka dari kitab tafsir FīẒilal Al-Qur’an dan Ṣafwah At-Tafāsīr sebagai buku primer serta buku-buku lain tentang birrulwālidain sebagai data sekunder. Di dalam kitab tafsir Fī Ẓilal Al-Qur’an dan Ṣafwah At-Tafāsīr, Sayyid Qutb dan ‘Alī al-Ṣābūnī menafsirkan ayat-ayat tentang birrul wālidain dengan memerintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, kemudian disusul dengan menyebut ibu secara khusus. Ini adalah istilah bahasa disebut “dzikrul khas ba’da ‘am” (menyebutkan yang khusus sesudah yang umum). Gunanya untuk menambah perhatian dan memandang sebagai hal yang penting, karena hak ibu atas anak lebih besar dari pada hak ayah. Dari penafsiran‘Alī al-Ṣābūnī ayat-ayat tentang birrul wālidain dibahas secara ringkas dan mudah untuk dipahami, sedangkan dari sisi Sayyid Qutb, ayat-ayat tentang birrul wālidainterasa lebih panjang pembahasannya, beliau menambahkan pemikiran pergerakan untuk menumbuhkan semangat kaum muda untuk selalu taat kepada kedua orang tua. Selain itu terdapat persamaan dan perbedaan dari kedua mufassir di atas yaitu dari segi metode dan bentunya. Dari segi metodenya kedua mufassir di atas sama-sama menggunakan metode tahlili, sedangkan dari segi bentuk tafsirnya kedua mufassir di atas menggunakan bi al-ra’yi atau kekuatan akal dalam menyibak materi yang ada di dalam al-Qur’an. Akan tetapi kedua mufassir di atas juga mempunyai perbedaan dalam menafsirkan ayat-ayat birrul wālidain yaitu dari segi kemandirian dalam menafsirkan. Dari segi Sayyid Qutb, beliau sangat mandiri dalam menafsirkan ayat-ayat tentang birrul wālidain. Sedangkan disisi ‘Alī al-Ṣābūnī beliu belum bisa mandiri dalam menafsirkan al-Qur’an karena dalam tafsirnya beliau masih didominasi oleh penafsiran-penafsiran mufassir sebelumnya