Psikologi Komunikasi Antara Gender

Komunikasi antar gender, yakni antara perempuan dan laki-laki, banyak dipengaruhi oleh kondisi psikologis komunikan. Kondisi psikologis komunikan terbentuk berdasarkan persepsi, perlakuan, dan sosialisasi yang berbeda, mulai dari lingkungan keluarga, diperkuat oleh lingkungan sekolah, juga pondok pesantren, masyarakat, dan bangsa, yang terinternalisasi dalam konsep diri, rasa kompeten, harga diri, kepemilikan power, corak relasi, dan pola komunikasi antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pada umumnya. Konsep diri, rasa kompeten, harga diri, kepemilikan power, corak relasi, dan pola komunikasi antara perempuan dan laki-laki yang terinternalisasi itu rentan menimbulkan pola komunikasi hirarkhis dan bias gender di masyarakat. Corak relasi dan komunikasi yang hirarkhis dan bias gender itu, mengakibatkan banyak perempuan mengalami ketidak-adilan dalam berbagai bentuk, seperti: marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, beban kerja ganda, dan dominasi. Sebaliknya, komunikasi yang simetris mampu menumbuhkan saling pengertian dan mengatasi kesenjangan gender dalam komunikasi. Komunikasi simetris dapat diciptakan dengan mengubah pandangan terhadap perempuan dengan kesadaran kritis yang mengungkap distorsi berkaitan dengan pengalaman perempuan. Relasi sosial yang harmonis membebaskan dari distorsi pola hubungan dan kontrol satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Agama pada dasarnya mempunyai misi untuk menebarkan nilai kebaikan dan keadilan bagi seluruh manusia. Pemilihan sumber ajaran dan ajarannya itu sendiri dapat menjadi sumber bias, juga dapat menegakkan keadilan dalam komunikasi antar gender. Pondok pesantren perlu dan penting memilih sumber ajaran agama yang dapat menciptakan komunikasi simetris, menegakkan keadilan, membebaskan dari berbagai dominasi, dan menghapus penindasan berbasis gender