ANALISIS PENDAPAT SITI MUSDAH MULIA TENTANG PEMBAGIAN HARTA WARISAN ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK PEREMPUAN DALAM HUKUM

Penelitian ini dilatar belakangi oleh pendapat Siti Musdah Mulia yang beranggapan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan itu tidak ada bedanya, tidak ada nomor satu dan tidak pula ada yang utama, karena hanya Allah lah yang nomor satu dan utama. Musdah mengatakan bahwa di Indonesia laki-laki dan perempuan mempunyai peran yang sama yaitu sama-sama bekerja, maka argumentasi abad ke -7 yang biasanya dipakai yaitu laki-laki mendapatkan hak warisan lebih besar berdasarkan kewajibannya mencari nafkah sudah tidak dapat diterapkan lagi. Pokok permasalahan penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan Siti Musdah Mulia tentang kewarisan anak laki-laki dan anak perempuan, mengetahui dan menganalisa metode istinbath hukum Siti Musdah Mulia dakam menetapkan pembagian harta warisan anak laki-laki dan anak perempuan serta untuk menetahui bagaimana analisis terhadap pemikiran Musdah Mulia tentang kewarisan anak laki-laki dan anak perempuan. Penelitian ini berbentuk penelitian Penelitian ini berbentuk penelitian kepustakaan (Library Resarch), dengan menggunakan buku Muslimah Reformis : Perempuan Pembaharu Keagamaan sebagai rujukan bahan hukum primernya, sedangkan bahan hukum sekundernya dalam tulisan ini adalah sejumlah literatur yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Metode analisa yang digunakan adalah metode isi (content analysis), yaitu suatu analisa data atau pengolahan secara ilmiah tentang isi dari sebuah pesan suatu komunikasi. Adapun metode pembahasan dan penulisan yang penulis gunakan adalah metode deskriptif, metode induktif dan metode deduktif. Hasil penelitian ini adalah bahwa Siti Musdah Mulia menetapkan pembagian harta warisan anak laki-laki dan anak perempuan adalah 2:1. Alasan Musdah Mulia mengajukan skema pembagian diatas adalah bahwa mengingat di zaman sekarang wanita juga mampu menjadi tulang punggung dalam sebuah rumah tangga sehingga diskriminasi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prinsip Islam, yaitu keadilan. Dalam masalah ini, Musdah memahaminya dari segi Maqashid, dimana maqashid bertujuan untuk kemaslahatan. Namun apabila dilihat dari jumlah bagian saat menerima hak, sebenarnya memang tidak terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan. Karena secara umum, pria haruslah memiliki banyak materi dibandingkan wanita. Hal tersebut dikarenakan pria dalam ajaran Islam harus memikul kewajiban ganda, yaitu untuk dirinya sendiri dan untuk keluarganya