Epistemologi metafisika Suhrawardi: Kajian atas simbolisme cahaya dalam Hikmat al-Ishraq

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan dan mengkaji dasar serta struktur dari penggunaan simbol cahaya dalam epistemologi metafisika Suhrawardi dalam Ḥikmat al-Ishrāq.Adapun pokok pembahasan dalam penelitian ini adalah kajian tentang kaitan antara metafisika dan epistemologi, karena meski objek-objek metafisik tidak dapat di indra, namun tetap diyakini memiliki status ontologis yang sama nyata dengan objek fisik. Penelitian ini merujuk pada sumber primer yaitu Ḥikmat al-Ishrāqserta sumber-sumber lainnya yang menjelaskan mengenai epistemologi dari metafisika. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan content analysis dan comparative analysisdengan pendekatan semiotika melalui teori produksi tanda agar dapat memberikan pemahaman yang jelas tentang dasar metafisika yang menggunakan simbolisme cahaya dalam Ḥikmat al-Ishrāqberikut konstruksi epistemologisnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam epistemologi Islam, objek metafisika memiliki status ontologis yang sama dengan objek fisik dan dapat diekspresikan, salah satunya adalah dengan menggunakan simbol cahaya. Simbol cahaya digunakan untuk menumbuhkan kesadaran pikiran manusia terhadap hubungan antara alam metafisik yang bersifat religius dengan dunia fisik berdasarkan citraan yang bersifat visual. Cahaya dalam filsafat Suhrawradi> merupakan dasar empiris dari epistemologi simbolik untuk mengekspresikan pemikiran metafisikanya. Penelitian ini sejalan dengan teori Karl Jung, Alyssa Ney dan Karl Popper. Menurut Jung, manifestasi spiritual manusia bukan berasal dari bentuk objektif yang terindra, melainkan berasal dari abtraksi dalam jiwa manusia. Manifestasi spiritual tersebut muncul dari kehidupan batin yang berasal dari alam bawah sadar manusia. Menurut Alyssa Ney, simbol diperlukan untuk menjadikan argumen metafisik agar dapat dipahami dalam bentuk logis yang lebih sederhana. Sementara menurut Popper, perkembangan ilmu berawal dari sebuah usulan hipotesis yang imajinatif, yang merupakan sebuah bentuk insight individualdan dapat diprediksi apakah akan menjadi teori. Hipotesis imajinasi tersebut berupa grand theoryyang akan diuji untuk menentukan layak atau tidaknya untuk dijadikan sebagai teori yang ilmiah. Selain itu, penelitian ini tidak bersepakat dengan teori positivisme August Comte yang menegaskan bahwa pengetahuan tidak dapat melampaui fakta-fakta. Atas dasar hal tersebut, Comte kemudian menolak etika, teologi, seni dan metafisika karena dianggap melampaui fenomena-fenomena yang teramati. Menurut August Comte, sejarah pengetahuan berkembang dalam tiga tahap. Tahap pertama teologis, kemudian metafisis dan terakhir positivis