Resepsi al-Qur'an dan Bentuk Spiritualitas Jawa Modern: Kajian praktik Mujahadah dan Semaan al-Qur'an Mantab Purbojati Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Penelitian ini bertujuan menjawab resepsi al-Qur?an dalam spiritualitas Jawa yang berkembang di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat era modern di bawah kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwana X. Bentuk resepsi al-Qur?an untuk pembangunan spiritualitas melalui mujahadah dan semaan al-Qur?an Mantab Purbojati di lingkungan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat telah mengiringi semenjak Raja Jawa ini naik tahta (njumeneng) dan secara resmi dihelat di pagelaran Keraton saat puncak Hajad Dalem peringatan Hadeging Negari Ngayogyakarta Hadiningrat ke-243 pada tanggal 17 Desember 1990 M. Kehadiran praktik semacam ini memberikan asumsi bahwa laku spiritual tapa brata, sesuai dengan akronim MANTAB (majelis nawaitu tapa brata), sebuah sikap dan praktik asketis tetaplah menjadi bagian sendi terpenting dalam ruang batin masyarakat Jawa. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode analisis deskriptif serta teknik pengumpulan data menggunakan studi dokumentasi dan analisis lapangan melalui pendekatan etnografi yang bersifat historis analisis. Disamping pendekatan tersebut, penelitian ini juga menggunakan pendekatan antropologis sosial. Pendekatan ini menekankan cara bagaimana kepercayaan dan khususnya ritus mampu memperkuat ikatan-ikatan sosial tradisional diantara individuindividu. Pendekatan ini menekankan cara struktur sosial sebuah kelompok yang diperkuat dan dilestarikan melalui simbolisasi ritual berbalut mistis yang berangkat dari nilai-nilai sosial yang mendasari stuktur sosial tersebut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa praktik Mujahadah dan Semaan al-Qur?an Mantab Purbojati Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat hadir mengiringi upacara sitem siklus daur hidup (rites of passage) dan menjadi simbol keselarasan Mistik sekaligus keselarasan sosial (Manunggaling Kawula Gusti). Bentuk spiritualitas tersebut kehadirannya melengkapi (njangkepi) bahkan telah menjadi bagian sistem siklus hidup dan diterima secara utuh tanpa harus merubah sama sekali tradisi yang baku dan telah berlangsung serta berkembang di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Penelitian ini mendukung teori Mitsuo Nakamura (1993) yang menuliskan bahwa budaya Indonesia, yakni Jawa, ternyata bisa melahirkan budaya Islam yang kuat. Kemudian teori Mark R. Woodward (1999) yang mengatakan bahwa Islam di Jawa adalah Islam sebagaimana Islam di belahan dunia manapun (varian Islam), dan teori M.C. Ricklefs (2011) yang berpendapat bahwa menjadi Muslim berarti menjadi Jawa, proses Islamisasi di Jawa telah menciptakan identitas baru yang sama sekali tidak bertentangan dengan kepercayaan maupun budaya lokal. Serta teori Bambang Pranowo (2009) yang menyatakan bahwa proses beragama (religiusitas) masyarakat Jawa berlangsung sangat dinamis. Religiusitas harus dipandang sebagai proses menjadi (state of becoming) bukan proses mengada (state of being). Penelitian ini sekaligus menyanggah teori yang dikemukakan oleh Clifford Geertz (1960) bahwa agama lebih sebagai nilai-nilai budaya dalam suatu kumpulan makna. Geertz kemudian menginterpretasikan orang Jawa dalam tiga varian kebudayaan, yaitu abangan, santri dan priyayi. Selanjutnya teori Koentjaraningrat (1984) yang menyebut kompleksitas religiusitas Islam di Jawa dengan dua varian: Abangan dengan istilah Agami Jawi atau kejawen dan Islam Santri dengan Agama Islam Santri