Poligami dalam perundang-undangan Indonesia dan Turki

Skripsi ini bertujuan untuk mengungkap 3 hal: (a) ketentuan poligami dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia dan Perundang-undangan di Turki, (b) persamaan dan perbedaan ketentuan poligami di kedua negara tersebut, dan (c) ketentuan poligami dalam perundang-undangan di Indonesia dan Turki dibandingkan dengan konsep yang dirumuskan dalam kitab-kitab fikih mazhab. Penelitian ini merupakan library research (penelitian kepustakaan) dengan menggunakan pendekatan yuridis dan pendekatan normative. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan sekunder. Yang menjadi data primer adalah Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990, dan Undang-Undang Sipil Turki Tahun 1926. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode content analisis dan dengan metode komparasi. Hasil dari penelitian ini adalah: (a) Poligami dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia diperbolehkan dengan pengecualian dan syarat-syarat tertentu. Suami yang akan melakukan poligami tidak hanya disyaratkan adil dan mampu menafkahi keluarganya, melainkan suami juga dipersyaratkan harus memenuhi beberapa ketentuan lain. Sedangkan poligami dalam peraturan perundang-undangan di Turki sama sekali dilarang dan jika perkawinan tersebut terjadi maka perkawinan itu dianggap tidak sah. (b) Ketentuan poligami dalam hukum keluarga Indonesia memiliki kesamaan dan juga perbedaan dengan hukum keluarga Turki. Persamaannya adalah bahwa di kedua negara tersebut sama-sama menganut azas monogami. Indonesia menganut azas monogami tidak mutlak, sedangkan di Turki juga menganut azas monogami, tetapi mutlak. Adapun perbedaanya, poligami di Indonesia diperbolehkan dengan pengecualian dan syarat-syarat tertentu. Sedangkan di Turki poligami sama sekali tidak diperbolehkan. Poligami di Indonesia, apabila tidak melaporkan ke pengadilan maka dikenakan sangsi Rp. 7. 500,-. Sedangkan di Turki tidak dijelaskan sangsi orang yang melakukan poligami. Orang yang melakukan poligami di Indonesia, asal seizin dari pengadilan, maka perkawinan poligami tersebut tetap dinyatakan sah, sedangkan di Turki orang yang melakukan poligami, maka perkawinan poligami tersebut tidak sah. (c) Apabila dibandingkan dengan ketentuanketentuan fikih, maka ketentuan yang dirumuskan dalam hukum keluarga di kedua negara tersebut sama sekali baru dan tidak ditemukan rujukannya dalam pendapat mazhab manapun, termasuk mazhab Syafi?iyah yang dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia ataupun mazhab Hanafiyah yang dianut oleh mayoritas umat Islam di Turki. Hal ini terjadi dalam rangka menyelaraskan perubahan sosial yang terjadi seiring dengan nilai syariat Islam yang berprinsip pada ruang dan waktu