Kualitas Hadis dalam Tafsīr Al-Ibriz: Studi Kritik Sanad Hadis Dalam Juz Amma

Dalam menafsirkan kitab suci Al-Qur'an, metode yang paling benar yaitu dengan cara menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, kemudian dengan hadis Rasul SAW. yang sahih. Apabila dalam hadis Nabi SAW. tidak ditekemukan maka bersandarlah pada perkataan sahabat. Kemudian jikalau dalam perkataan sahabat tidak ditemukan suatu tafsir dari suatu ayat maka carilah dari kalangan tabiin. Dalam hal ini mufasir harus selektif yakni hanya menukil hadis-hadis sahih. Adapun sebab-sebab lemahnya suatu riwayat dalam tafsir yaitu: 1). Banyaknya riwayat palsu dalam tafsir, 2). Masuknya ᾽Isrā'īl iyyāt dalam penafsiran tanpa adanya komentar akan kesahihan dan kerasionalan riwayat tersebut, dan 3). Tidak adanya penyebutan transmisi riwayat yang dinukil. Satu dari beberapa tafsir pada era modern adalah Tafsīr al-Ibrīz karya K.H. Bisri Musthafa. Oleh Howard M. Federspiel, dalam bukunya Kajian Al- Quran Indonesia, kitab tafsir ini tidak termasuk dalam ulasan sejarah perkembangan tafsir dan ilmu tafsir di Indonesia, terlepas atas adanya asumsi bahwa Federspiel hanya meneliti tafsir yang berbahasa Indonesia. Namun oleh van Bruinessen, Tafsīr al-Ibrīz tergolong kitab tafsir yang perlu dipertimbangkan dalam kancah kajian tafsir di Indonesia. Walau pun dia mengatakan bahwa tafsir ini tidak dikenal secara luas, hal tersebut mungkin kerana tafsir tersebut berbahasa Jawa sehingga penyebarannya hanya di wilayah yang masyarakatnya berbahasa Jawa. Penulis menemukan beberapa pondok pesantren yang memasukkan Tafsīr al-Ibrīz sebagai kurikulumnya. Selain itu, menurut Murtadho Hadi, salah satu karya K.H. Bisri Musthafa yang sering dibaca dan digemari sehingga menghiasi pustaka rumah-rumah penduduk terutama masyarakat Jawa ialah Tafsīr al-Ibrīz. Sebagaimana penulis kemukakan di atas, penyebab kitab tafsir itu "kurang bagus" adalah riwayat yang lemah. Kelemahan tersebut disebabkan ? salah satunya- tidak adanya penyebutan transmisi periwayatan dalam suatu riwayat yang dinukil. Dari itu, Tafsīr al-Ibrīz termasuk dalam kategori tersebut. Hal tersebut karena tidak adanya penjelasan mengenai keontetikan hadis yang dikutip, melainkan hanya penyebutan matan saja tanpa adanya penyebutan sanad dari matan tersebut. Dan matan-matan hadis tersebut juga, hanya dialihbahasakan ke dalam bahasa Jawa, sehingga hadis tersebut bercampur-baur dengan penafsirannya. iii Dalam penelitian ini, penulis membatasi penelitiannya hanya pada hadis-hadis yang terdapat dalam Tafsīr al-Ibrīz mulai surah al-Naba? sampai surah al-Nās (Juz ?Amma).Hal tersebut dikarenakan juz 'amma merupakan juz ini mencakup surat-surah-surah pendek yang biasa dilantunkan umat Islam ketika salat dan merupakan juz pertama yang dihafal oleh para hafiz. Objek kajian dalam skripsi ini bervariasi, mulai dari hadis yang disebutkan matannya saja, sampai ungkapan yang tidak secara lugas dinyatakan sebagai hadis namun diindikasikan sebagai hadis. Ke semua hadis tersebut oleh pengarangnya, tidak diberi kualitas dari hadis yang telah disebutkan. Maka dari itu dalam penelitian ini, peneliti menggunakn kajian perpustakaan (library research). Pada skripsi ini penulis menggunakan tiga metode; pertama metode awal matan hadis, kedua dengan pencarian kata tertentu dalam matan hadis, dan ketiga menggunakan metode tema hadis, Sehingga dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan metode Deskriptif Analisis, yaitu mendeskripsikan data yang ada, kemudian menganalisanya secara proposional sehingga akan didapat rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok pembahasan. Hasil peniltian menunjukkan (1) Hadis-hadis yang terdapat dalam Tafsīr al-Ibrīz itu mempunyai status yang berbeda-beda, tidak semuanya daif karena tidak adanya penyebutan sanad. Akan tetapi ada yang berkualitas sahih dan juga ḥasan. (2) Dari dua belas riwayat yang penulis teliti dalam juz 'amma, terdapat 5 ḥadīth ṣaḥīḥ, 7 ḥadīth ḍa'īf. Dari tujuh hadis di atas terdapat 2 ḥadīth matrūk, 4 ḥadīth munkar, 1 ḥadīth mubham. (3) Adanya ḥadīth ḍa'īf Tafsīr al- Ibrīz dikarenakan adat dari kalangan ulama Indonesia terutama dari Nahdlatul Ulama (NU) dalam memahami hadis dengan melalui perantara pemahaman kitab al-muktabarah, dalam hal ini adalah kitab-kitab tafsir, yang mana Bisri Musthafa hanya mengutip dari kitab-kitab tafsir tersebut. Karena dengan jalan tersebut akan menghindari dari penafsiran eksklusif-fundamentalis terhadap pemahaman Al-Qur?an dan Hadis. Selain itu, ia paham betul bahwa akan perkataan dan pendapat Ibn Ḥanbal, Ibn Mahdī, Ibn al-Mubārak, dan 'Abū Dāwud yang membolehkan mengamalkan dan meriwayatkan hadis daif. (4) Fungsi hadis dalam Tafsīr al-Ibrīz sendiri sebagai penguat dalam memahami Al-Qur'an. Dan dalam hal ini, ia memasukkan sebagian hadis-hadis tersebut ke dalam tema muhimmah, fā'idah, tanbīh, dan qiṣṣah