Menerima Upah Mengajar al-Quran Perspektif Hadis: Studi Mukhtalif al-Hadis Dalam al-Kutub al-Tisah

Pertentangan antara hadis-hadis tentang upah mengajar al-Qur?an seringkali berdampak langsung kepada masyarakat, sehingga membuat masalah dalam menerimanya dan juga yang memberikan upah. Pertentangan dalam masalah ini akan coba penulis kaji dan selesaikan dengan metode Mukhtalif al-Hadis. Ilmu Mukhtalif al-Hadis merupakan ilmu yang membahas pertentangan hadis dengan hadis lain, dengan al-Qur?an, logika dan fakta, baik pertentangannya secara zhahir atau hakiki. Hal ini senada dengan cakupan pembahasan kitab-kitab tentang Mukhtalif al-Hadis, diantaranya Ta`wîl Mukhtalif al-Hadîts karya Abî Muhammad Abdullah ibn Muslim Qutaibah (213-276 H). Secara esensi, pertentangan antara satu hadis dengan yang lain hanyalah pada zhahirnya dan tidak bersifat hakiki, mengingat keseluruhannya bersumber dari Allah Swt. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan mencari dan mengumpulkan berbagai Literatur yang relevan dengan pokok permasalahan. Langkah pertama dari penelitian yang akan penulis gunakan, yakni Pengumpulan Data: Data primer yang penulis gunakan yakni Sunan Abu Dawud, yang memuat hadis melarang dan membolehkan menerima upah mengajar al-Qur?an yang akan dikaji dalam penelitian ini. Kemudian data sekunder lainnya adalah buku-buku yang terkait dengan Mukhtalif Al-Hadis. Serta dengan menambahkan literatur penunjang yang lain berupa ensiklopedi, jurnal, atau artikel yang terkait dengan penelitian ini. Selanjutnya menganalisis kandungan yang terdapat dalam hadis dan menganalisis relevansi hadis tersebut di konteks kehidupan sekarang. Hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa hadis tentang menerima upah dalam mengajar al-Qur?an memiliki kandungan membolehkan dan melarang dalam berperilaku. Dikarenakan lemahnya dalil-dalil yang melarang dan kuatnya dalil-dalil yang membolehkan, mayoritas salaf yang terdahulu membolehkan meminta upah pengajaran, atau mengambil upah pengajaran, bersamaan dengan pendapat mereka, bahwasannya memurnikan minta pahala dari Allah itu lebih utama. Sekalipun hukumnya boleh, akan tetapi para salaf memakruhkan seorang pengajar memasang syarat upah pengajaran, karena hal itu mengurangi kehormatan, dan menyelisihi jalan para nabi, padahal para pengajar itu seharusnya menjadi orang terdepan dalam mencontoh para nabi mereka. Kemudian, relevansi hadis-hadis upah mengajar al- Qur?an dengan konteks kehidupan sekarang dapat dikatakan cukup relative besar, hal ini dapat dilihat dari adanya penerapan hadis-hadis tentang upah dalam mengajar al- Qur?an