Nasionalisme ulama: pemikiran politik kebangsaan Sayyid 'Idrus bin Salim Aljufriy, 1891-1969

Disertasi ini membuktikan bahwa Sayyid ?Idru>s bin Sa>lim Aljufri> (Guru Tua), adalah seorang ulama sunni yang bercorak nasionalis religius progresif dan menjadikan madrasah dan Perguruan Alkhairaat sebagai basis perjuangan nasionalisme melalui tiga gerakan; pendidikan, dakwah, dan usaha pemberdayaan sosial. Pada periode (1930-1965), madrasah Alkhairaat tidak hanya diposisikan sebagai muassasah ta?li>miyyah (lembaga pembelajaran) atau transfer of knowledge belaka, melainkan juga sebagai muassasah tarbawiyyah (lembaga pendidikan) untuk membentuk akhlak dan moralitas, dakwah Islam, dan usaha-usaha sosial. Dengan memposisikan madrasah Alkhairaat seperti itu, akhirnya Guru Tua berhasil membangkitkan kesadaran patriotisme dan nasionalisme bagi Abna>? al-khaira>t, untuk mengusir penjajah Belanda dan Jepang. Nasionalitas Guru Tua berbeda dengan kalangan keturunan Hadramaut lainnya seperti diperlihatkan oleh Jami?at Khair dan Al-Irsyad. Dalam masa tertentu, sebagian keturunan Hadramaut masih tetap setia terhadap tanah air asal nenek moyang mereka yaitu Hadramaut sebagai identitas kebangsaannya, dan mempertahankan stratafikasi sosial sayyid-non-sayyid, larangan pernikahan antara wanita sayyid dan lelaki non sayyid. Mereka juga mengalami pasang surut dalam perdebatan mengenai nasionalisme Indonesia. Sedangkan Guru Tua, tidak pernah mempersoalkan stratifikasi sosial tersebut, dan tidak pernah meragukan identitas kebangsaannya sebagai orang Indonesia. Selain ibunya berdarah keturunan Arung Matoa Wajo Sengkang Makassar, dia juga mengawini wanita anak raja lokal Palu. Bahkan kedua orang saudaranya telah tinggal menetap di Manado Sulawesi Utara sejak tahun 1900 M. Disertasi ini menolak pendapat L.W.C. (Lodewijk Williem Christian) van den Berg (1845-1927), dalam bukunya Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, terjemahan dari Le Hadhramout Et. Les Colonies Arabes Dans L?Archipel Indien (Jakarta: INIS, 1989) bahwa pada umumnya orang mengira sejak berabad-abad, orang Arab mengunjungi Nusantara lebih sebagai da?i dari pada sebagai pedagang. Menurut Berg, motivasi utama orang-orang Arab Had}ramaut tersebut hanyalah mengumpulkan harta benda. Kalaupun ada diantara mereka yang menerima tawaran dan memegang posisi keagamaan sebagai qa>d}i, ima>m, atau pengurus Masjid, itu pun demi upahnya, dan bukan demi pengabdiannya sebagai da?i> (tidak bermotifkan agama)