Semantik kontekstual dan hadits mukhtalif Al-Riwayah

Tesis ini merupakan kajian bahasa yang diaplikasikan pada interpretasi teks hadis. dengan difokuskan pada hadis mukhtalif. penelitian ini membuktikan bahwa semakin luas pemahaman konteks suatu kalimat maka akan semakin tinggi tingkat akurasi makna. Tesis ini mendukung pendapat yang menyatakan bahwa dalam memahami sebuah makna tidak dapat dilepaskan dari konteks. Pendapat ini didukung oleh Ibn Jinni (w392H) dalam bukunya al-Khash�ish menyatakan bahwa makna kata tidak dapat terpisah dari konteksnya. Pendapat ini juga diikuti oleh Ibn Hisyam (w761H) dalam bukunya Mughni al-Labib 'an kutub al-A'arib. John Perth Firth dalam Papers in Linguistics 1934-1951, menyatakan bahwa makna sebuah kata terletak pada konteksnya. M.A.K. Halliday dalam Exploration In The Functions Of Language (1973) beranggapan bahwa bahasa merupakan wujud dari tindakan penggunaan bahasa yang tergantung pada situasi penggunaan bahasa. Edward T. Hall dalam bukunya The Silent Language (1974) menyatakan bahwa Sebuah informasi yang terlepas dari konteksnya akan kehilangan makna dan tidak dapat dipercaya penafsirannaya. Sebaliknya, Tesis ini mengkritik pendapat yang menyatakan bahwa kajian makna bahasa seharusnya terlepas dari konteks (dalam cakupan yang luas adalah budaya) mengingat begitu banyak unsur konteks yang tidak dapat diwadahi oleh kaidah semantik. Pendapat ini didukung oleh Pierre Guiraud (seorang lingus asal Perancis) dalam La Semantique (1986) yang menyatakan bahwa setiap kata mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi, kata tersebut baru mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Sumber primer yang dipakai dalam penulisan tesis ini:: Shahih al-Bukh�ri karangan al-Bukh�ri, Shahih Muslim karangan Muslim al-Naisaburi, Ikhtil�f Al- Hadits karangan al-Sy�fi'i, Ta'wil Mukhtalif al-Hadits karangan Ibn Qutaibah. Semua sumber ini dikaji dengan analisis teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: konteks linguistik dan konteks non linguistik yang terdiri dari konteks emosi, konteks situasi dan konteks budaya, masing-masing konteks ini diaplikasikan pada interpretasi hadits mukhtalif