Menolak klaim misoginis terhadap Hadis Nabi memahami hadis perintah sujud kepada suami melalui pendekatan bahasa

Wacana seputar superioritas dan inferioritas yang konon dilegitimasi oleh doktrin agama bukanlah isu yang baru. Tudingan bahwa sekelompok orang telah mempersenjatai budaya patriarkhi dengan nas al-Quran dan Sunnah adalah fakta lama yang belum dan bahkan tidak pernah berakhir. Meski pada kenyataannya agama tidak menghendaki penghambaan dan menghambakan manusia atas manusia lain berdasarkan jenis kelamin atau pun suku, namun fakta di lapangan seolah mengarahkan kesana. Salah satu dari sekian banyak doktrin yang dianggap meresahkan kaum perempuan adalah keberadaan hadis perintah sujud kepada suami. Padahal jika dipahami dengan benar, ungkapan tersebut hanyalah sekedar pengandaian yang berujung kepada anjuran kuat untuk membina rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Selebihnya, aktivitas tersebut tidak pernah divalidasi oleh agama. Penelitian sbelumnya terhadap hadis sujud kepada suami yang terdokumentasikan di dalam beberapa kitab hadis menyimpulkan bahwa hadis tersebut lemah bahkan cenderung palsu. Sementara itu data yang dipergunakan untuk melemahkan keberadaannya tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam ilmu hadis. Setelah melakukan penelitian lebih jauh saya berkesimpulan bahwa hadis diatas adalah benar dan bukan rekayasa siapapun melainkan bersumber dari Rasulullah Saw. Penelitian dilakukan dengan menawarkan cara baca alternatif terhadap hadis melalui pendekatan ush?l? dan linguistik yang saya anggap dominan. Pada akhirnya, pemahaman terhadap hadis melalui pendekatan kebahasaan ini mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa hadis yang diklaim sebagai legitimasi inferioritas kaum perempuan tidak pernah bermaksud demikian. Pemahaman ini secara otomatis menolak tudingan sekelompok orang yang menduga adanya legitimasi palsu guna menindas kaum perempua