Pemikiran tentang peran serta perempuan dalam nafkah keluarga

Perbedaan laki-laki dan perempuan masih saja menyimpan beberapa masalah, baik substansial kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan anatomi biologis antara keduanya sangatlah cukup jelas namun efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin melahirkan seperangkat konsep budaya.Perempuan sebagai aktor dalam keluarga dan masyarakat mempunyai peran yang cukup penting dan tidak bisa dikesampingkan keberadaannya. Dalam skirpsi ini penyusun berupaya mengkaji tentang gender assignment (kesetaraan Jender) yang berkaitan dengan peran perempuan dalam nafkah keluarga, karena selama ini laki-laki di dalam formula hukum Islam ulama pendahulu selalu ditempatkan pada dataran superior dan mempunyai hak-hak istimewa dalam akses publik, dan juga dalam keluarga laki-laki mempunyai kedudukan yang terhormat dikarenakan salah satunya merekalah yang member nafkah, sedangkan perempuan ditempatkan pada ranah subordinasi, inferioritas, dan terkurung pada ruangan domestik akibat ter-hegemoni (kekuasaan tertinggi) wacana yang disakralkan dari penafsiran nash-nash yang bersifat misoginis dan maskulinitas. Lalu bagaimana jika himpitan masa dan kebutuhan ekonomi di era industrial ini mengharuskan perempuan bekerja di luar rumah ? padahal menurut ahli fiqih perempuan juga berkewajiban mengurus manajerial rumah tangganya, seperti mengurus anak dan dilarang keluar rumah.. Ini berarti perempuan mempunyai beban ganda, akan tetapi apa yang telah dilakukannya selalu dianggap rendah dan diremehkan. Pada kajian ini menggunakan pendekatan normatife-historis, yaitu mendekati masalah yang diteliti dengan menelaah ayat-ayat al-Qur?an dan hadis dengan melihat sejarah penafsiran yang mengikutinya. Dalam hal ini pemikiran Nasaruddin Umar menarik untuk dikaji, karena dalam ide yang ditawarkannya paradoksial dengan pendapat para ulama terdahulu, padahal pendapat-pendapat tersebut bagi mayoritas umat islam sangat disakralkan. Nasaruddin Umar mencoba mengkorelasikan dan merelevansikan untuk selanjutnya dilakukan reinterpretasi (hukum yang berulang) terhadap nash-nash yang berkaitan dengan gender assignment (kesetaraan jender). Dia berpendapat bahwa dalam memahami relasi seksual dan jender harus berhati-hati agar Islam berjalan dinamis dan elastik sesuai growt-up variable psiko-society(masyarakat tumbuh berkambang), karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kedudukan yang sama di hadapan Allah SWT, dan juga sama-sama berhak untuk berprestasi, yang membedakan hanya kadar ketaqwaannya, akan tetapi apa yang dideskripsikan oleh Nasaruddin Umar tentang peran perempuan dalam nafkah keluarga tidak tuntas, karena argumen yang dikeluarkannya tidak memberikan solusi konkrit mengenai manajerial yang ideal untuk para perempuan dalam mengenai tanggung jawab di rumah tangganya, karena jika perempuat ikut berperan mencari nafkah maka secara otomatis mereka mempunyai beban ganda. Pemikiran Nasaruddin Umar pada dasarnya ingin menempatkan posisi permpuan sejajar dengan posisi laki-laki baik dalam lindkungan kerja maupun rumah tangga, perempuan juga mempunyai peluang yang sama untuk meraih prestasi dalam segala bidang termasuk dalam mencari nafkah demi kepentingan keluarga dan kemaslahatan bersama sepanjang tidak keluar dari syariat Islam