EPISTEMOLOGI IBN SÎNÂ

Berbicara prihal epistemologi atau filsafat pengetahuan, tentu secara umum kita selalu dihadapkan pada sebuah narasi besar yang berbasis pada kerangka dan sistem epistemologi Barat. Pada abad modern sampai dengan sekarang ini, rasionalisme yang berbasis pada akal budi apriori dan empirisme yang bersandar pada pengalaman indrawi aposteriori seolah menjadi dua pilihan yang selalu dihadirkan kepada kita untuk dipilih. Padahal jauh sebelum itu, para filosof muslim telah menggambarkan secara terperinci dan komperhensif mengenai struktur dan sistem pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Adalah Ibn Sînâ yang dengan cerdas dan terperinci telah memaparkan sekelumit tentang sistem pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Ia mampu menghadirkan sistem pengetahuan tersebut mulai dari pembahasan yang sangat fundamental yaitu eksistensi subjek utama ?yang mengetahui?: jiwa (al-nafs). Berangkat dari titik inilah, Ibn Sînâ mulai menelusuri fakultas-fakultas yang ter-kapling di dalam jiwa tersebut, sehingga pada akhirnya ia menemukan berbagai macam bentuk fakultas jiwa beserta dengan kemampuan (al-quwwah) yang dimilikinya, yaitu jiwa nabati, hewani, dan insani. Jika ditinjau dari ketiga fakultas jiwa tersebut, maka sistem pengetahuan itu berada ?dan dimulai? pada jiwa hewani, karena pada fakultas inilah jiwa mampu untuk menangkap bentuk-bentuk khusus yang dimiliki oleh objek-objek tertentu. Penangkapan (persepsi, al-idrak) objek-objek tersebut tentu melalui pelantaraan lima indra (al-hiss al-khamsah). Kemudian bentuk-bentuk yang telah berhasil ditangkap oleh lima indra tersebut ditransformasikan ke dalam indra internal (alhiss al-bathin). Sampai dengan pembahasan tersebut, Ibn Sînâ ingin menggambarkan kepada kita tentang pengetahuan yang didapat melalui medium pengalaman indrawi yang bersifat hewani. Melampaui itu, kemudian Ibn Sînâ juga menggambarkan bagaimana pengetahuan yang melalui akal didapat. Ada perbedaan mendasar antara pengetahuan hewani dan insani, yaitu bahwa jiwa hewani hanya mampu mendapatkan pengetahuan yang bersifat parsial (juziyyat) sedang jiwa insani mampu mendapatkan pengetahuan yang bersifat universal (kulliyat)