ASUHAN KEPERAWATAN SKIZOFRENIA DENGAN MASALAHKEPERAWATAN ISOLASI SOSIAL PADA SDR. NDI RSJ PROF. DR. SOEROJO MAGELANG

Persaingan hidup menjadi semakin ketat seiring dengan perkembangan zaman. Hal ini sangat erat kaitannya dengan peningkatan tuntutan kebutuhan hidup manusia yang semakin mendesak sehingga berbagai macam cara mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhannya. Ketidaksanggupan pribadi untuk memenuhi tuntutan tersebut dapat menimbulkan stress dalam diri individu. Stress yang terjadi secara terus menerus dengan koping yang tidak efektif akan mendukung terjadinya gangguan jiwa. Salah satu bentuk gangguan jiwa adalah skizofrenia.Skizofrenia tidak dapat didefinisikan sebagai penyakit tersendiri, melainkan diduga sebagai suatu sindrom atau proses penyakit yang mencakup banyak jenis dengan berbagai gejala seperti jenis kanker. Gejala yang dapat muncul pada penderita skizofrenia diantaranya isolasi sosial (Videbeck, 2008).Berdasarkan data yang diperoleh dari National Institute of Mental Health tahun 2000 dalam Sylvia, Dewi, Richard (2013), prevalensi skizofrenia di dunia yaitu sekitar 1,1%, dari populasi diatas usia 8 tahun atau sekitar 51 juta orang. Sedangkan data yang diperoleh dari Riskesdas RI (2013) secara nasional terdapat 0,17% (lebih dari 400.000) penduduk Indonesia mengalami gangguan mental berat (skizofrenia) dan di Provinsi Jawa Tengah terdapat 2,3 per mil orang dengan gangguan jiwa berat (Depkes RI, 2013). Data yangdiperoleh dari RSJ Prof. dr. Soerojo Magelang bulan Januari hingga Oktober tahun 2015 jumlah pasien skizofrenia sebanyak 5.682 orang dengan masalah keperawatan isolasi sosial sebanyak 279 orang.Menurut Yosep (2010), tindakan keperawatan pada pasien skizofrenia dengan masalah isolasi sosial yang harus dilakukan adalah dengan membina hubungan saling percaya, membantu klien menyadari perilaku isolasi sosial, melatih klien cara-cara berinteraksi dengan orang lain secara bertahap, serta mengajarkan kepada klien mekanisme coping yang konstruktif.Dalam membina hubungan saling percaya diperlukan adanya komunikasi. Komunikasi terapeutik merupakan sarana yang sangat efektif dalam memudahkan perawat membangun suatu interaksi dengan pasien sehingga dapat melaksanakan peran dan fungsinya dengan baik. Interaksi tersebut harus dilakukan sesuai dengan fase baku interaksi terapeutik perawat-klien, karena setiap fase itu mempunyai tugas yang harus dilaksanakan oleh perawat agar hubungan yang dibangun bisa optimal (Nurjannah, 2005). Menurut Keliat dan Akemat (2007), hal yang perlu diperhatikan perawat untuk membina hubungan saling percaya diantaranya perlu interaksi yang sering dan singkat.Pada studi pendahuluan yang dilakukan di wisma Antareja RSJ Prof. dr. Soerojo Magelang tanggal 17 November 2015, ditemukan fakta empiris bahwa di bangsal tersebut pasien skizofrenia dengan masalah isolasi sosial sering dilibatkan dalam aktivitas sehari-hari seperti pasien dengan masalah keperawatan yang lain. Tidak ada tindakan khusus yang dilakukan untukmengatasi masalah pasien isolasi sosial. Intervensi yang sudah dilakukan seperti sosioterapi dan farmakoterapi belum membuat pasien dapat bersosialisasi dengan baik. Komunikasi terapeutik juga sudah diterapkan namun belum sesuai dengan fase baku yang ada dalam hubungan terapeutik, seperti sering mengabaikan fase prainteraksi maupun fase orientasi. Dari segi kuantitas, interaksi antara pasien dengan perawat dalam satu shift hanya dilakukan sekali saja, itupun durasinya sangat singkat yaitu 5-10 menit. (Basuki, komunikasi personal, 17 November 2015).Dengan permasalahan tersebut maka perawat akan sulit untuk membina hubungan yang baik dengan pasien. Ketidakberhasilan dalam membina hubungan saling percaya akan menimbulkan masalah bagi pasien seperti kehilangan harga diri, merasa tidak yakin pada diri sendiri, menjadi sangat cemas, dan kemudian bertingkah laku di luar kebiasaannya atau sulit untuk dipahami (Rawlins dalam Nurjannah, 2005)