ASUHAN KEPERAWATAN SKIZOFRENIA DENGAN PERUBAHAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI PENDENGARAN PADA SDR. H DI BANGSAL P1 RSJ PROF. DR. SOEROJO MAGELANG

Proses globalisasi dan laju modernisasi saat ini memberikan dampak terhadap tatanan kehidupan masyarakat, dimana kecenderungan jumlah klien dengan gangguan jiwa semakin mengalami peningkatan. Ketidakmampuan individu untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat seperti tingginya beban ekonomi, semakin melebarnya kesenjangan sosial serta ketidakpastian situasi sosial politik menjadi pemicu masyarakat menderita gangguan jiwa. Didukung dengan koping individu yang tidak efektif pada setiap orang membuat masyarakat lebih rentan terhadap gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang sudah berat adalah skizofrenia.Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, kejadian gangguan jiwa di Indonesia sebesar 1,7 per mil. Artinya, 1-2 orang dari 1000 penduduk di Indonesia mengalami gangguan jiwa berat. Gangguan jiwa adalah sindrom atau pola yang secara klinis bermakna yang berhubungan dengan distress atau penderitaan dan menimbulkan hendaya pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia. Fungsi jiwa yang terganggu meliputi fungsi biologis, psikologis, sosial, dan spiritual (Keliat & Akemat, 2011). Berdasarkan studi pendahuluan pada tanggal 9 November 2015 di bangsal Puntadewa didapatkan data dalam satu bulan terakhir terdapat 39 klien yang masuk bangsal dengan gangguan2jiwa. Diantaranya 29 klien dengan halusinasi, 20 diantaranya halusinasi pendengaran dan 9 halusinasi penglihatan. Klien dengan halusinasi menduduki peringkat 1 di bangsal.Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang sudah berat sehingga klien mengalami masalah dalam berkomunikasi, gangguan realitas, afek tidak wajar, tidak mampu berpikir abstrak serta sulit dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Gejala pada skizofrenia dibagi menjadi 2 kategori utama yaitu gejala positif dan gejala negatif. Salah satu gejala positif yang dapat diamati yaitu halusinasi. Halusinasi pendengaran merupakan sikap seseorang yang sering kali menunjukkan perilaku seperti bicara atau tertawa sendiri dan menutup telinga tanpa stimulus yang nyata.Berdasarkan studi pendahuluan penulis pada tanggal 9 November 2015 di bangsal P1 RSJ Prof. dr. Soerojo Magelang, melalui wawancara dan observasi ditemukan fakta bahwa pengelolaan klien halusinasi semua sama walaupun fasenya berbeda. Semua klien dilatih untuk mengontrol halusinasi mulai dari menghardik. Pada klien yang masih nyaman dengan halusinasinya sulit untuk mengenalkan tentang halusinasi dan teknik mengontrol halusinasi karena tidak semua cara kontrol halusinasi dapat diterapkan pada klien. Menurut Videbeck (2008) sulit bagi klien memberikan perhatian terhadap lingkungan ketika halusinasi muncul sehingga teknik pengalihan perhatian klien dengan bercakap-cakap dengan orang atau kegiatan bermanfaat untuk mencegah halusinasi muncul.36Dampak apabila klien dengan kondisi halusinasi yang menyenangkan dibiarkan tanpa adanya pengawasan yang intensif, maka halusinasi klien akan berlanjut ke tahap halusinasi yang selanjutnya atau bahkan meningkat. Apabila halusinasi klien berlanjut atau meningkat maka dapat mengakibatkan risiko perilaku kekerasan pada klien seperti bunuh diri, memotong anggota bagian tubuh, melompat dari jendela dan juga dapat mencederai orang lain serta lingkungan. Gejala dari halusinasi yang membahayakan tersebut memerlukan tindakan sesegera mungkin (Stuart, 2009).Solusi yang ditawarkan penulis untuk menangani masalah tersebut yaitu meningkatkan pengawasan terhadap klien halusinasi dan memberikan perhatian secara terapeutik dengan mengajak interaksi agar klien tidak menyendiri dan dapat berinteraksi dengan lingkungan. Mengajarkan teknik mengontrol halusinasi yaitu bercakap-cakap dengan orang lain saat halusinasi muncul, melakukan aktivitas terjadwal dan minum obat secara teratur untuk mencegah munculnya halusinasi (Keliat & Akemat, 2011)