PEMIKIRAN HAKIM DALAM PERKARA PEWARISAN BEDA AGAMA (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung)

Para ulama klasik telah melarang bagi seorang non Muslim untuk mendapatkan warisan dari Muslim atau sebaliknya, begitu juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam yang juga melarang adanya waris beda agama, hal itu juga seirama dengan fatwa MUI yang juga mengharamkan adanya waris beda agama, hal ini berlandaskan pada hadits Nabi yang berbunyi tidaklah saling Mewari seorang muslim kepada ahli warisnya yang kafir, atau seorang ahli waris kafir mewarisi kepada ahli waris muslim. Selain itu para ulama juga menegaskan bahwa wasiat juga tidak didapatkan bagi ahli waris non Muslim yang dianalogikan pada waris beda agama tersebut. Namun di sisi lain muncullah putusan Mahkamah Agung yang sangat berbeda dan bahkan bertentangan dengan dasar hukum normatif dan hukum positif di Indonesia, yaitu Putusan No. 368K/AG/1995 dan Putusan No. 51K/SG/1999, serta Putusan No. 16 K/AG/2010 tentang kebolehan seorang ahli waris non Muslim mendapatkan warisan dengan cara diberikannya wasit wajibah kepadanya, dengan menggali ulang makna filosofis serta pertimbangan sosiologis. Illat putusan hukum tersebut tidak diqiyaskan kepada ahli waris beda agama yang tidak mendapatkan warisan, namun diqiyaskan kepada bentuk sedekah atau hibah dapat diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki. Based on the background of the problem above, the problems examined in this study are; 1) What is the thought of the Supreme Court judge in deciding on the Differential Religion case and its relation to the decision about a mandatory will? 2) What methods and approaches are used by Supreme Court judges in deciding substantive equitable Differential Religion? Penelitian ini merupakan kombinasi antara penelitian hukum normative dan empiris (applied law research). Penelitian hukum normative-empiris adalah penelitian hukum yang obyek kajian aturan hukum normative (in abstracto) dan penerapannya pada peristiwa hukum (in concreto). Untuk menganalisis permasalahan-permasalahan dalam disertasi ini, peneliti menggunakan beberapa teori, adapun teori-teori tersebut dikelompokan dalam 3 (tiga) kategori: teori Maqasid al-syari’ah sebagai Grand Theory, sebagai Middle Theory yaitu teori pembaruan, serta sebagai Application Theory adalah teori prilaku hakim. Hakim Mahkamah Agung memutuskan perkara waris beda agama dengan cara menjadikannya sebagai wasiat wajibah dengan pendekatan filosofis, bahwa wasiat wajibah dapat diberikan kepada selain ahli waris dengan tidak melebihi dari sepertiga, hal ini dilakukan demi kemaslahatan sehingga tidak diqiyaskan pada waris, namun kepada infaq, secara sosial bahwa seorang ahli waris non Muslim mendapatkan wasiat wajibah dikarenakan ada hubungan dekat dengan orang yang meninggal, meskipun hal ini bertentangan dengan hukum normatif dan hukum positif di Indonesia, yang melarang adanya hak waris bagi non Muslim. Putusan Hakim Mahkamah Agung tentang kebolehan non Muslim melalui pintu wasiat wajibah, merupakan bentuk sikap progresif, inovatif dan responsif seorang hakim dan telah menjadi yurisprudensi bagi para hakim di lingkungan Pengadilan Agama. Namun demikian Penerapan Wasiat Wajibah ini tidak bisa diterapkan secara umum dan menyeluruh karena harus dicermati bagaimana posisi kasus dan modusnya