Pengaturan Penyelesaian Sengketa Pajak Pertambahan Nilai melalui Pengadilan Pajak (Kajian Kepastian Hukum dan Keadilan)

Sebagai konsekuensi Negara Indonesia adalah negara hukum, maka pemungutan pajak wajib diatur dengan Undang-undang. Cara menghitung, menyetor dan melaporkan pajak berdasarkan asas self assessment dikaitkan dengan perubahan pola bisnis yang tidak sinkron dengan regulasi perpajakan disatu pihak, dengan meletakkan kewenangan fiskus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak, maka tindakan yang diambil oleh fiskus dikatagorikan sebagai official assessment. Contohnya Pasal 13 ayat (1) huruf a Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan antara lain mengatur …Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar. Sehingga Surat Ketetapan Pajak, oleh wajib pajak disengketakan karena dianggap tidak ada kepastian hukum dan tidak adil. Selanjutnya, wajib pajak berhak mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak, apabila keberatannya ditolak, wajib pajak berhak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Pada kenyataannya syarat mengajukan banding terdapat konflik secara internal antara Pasal-pasal yang mengatur batas waktu 3(tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3) yang kemudian Pasal tersebut diperlemah oleh Pasal 50 ayat (3) bahwa kelengkapan dan/atau kejelasan dimaksud dapat diberikan dalam persidangan. Kemudian konflik secara eksternal antara Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan antara lain mengatur permohonan diajukan dalam waktu tiga bulan sejak keputusan diterima. Syarat tiga bulan tersebut berdasarkan Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Pengadilan Pajak, tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan pemohon banding. Permasalahan disertasi ini adalah, pertama apakah pengaturan penyelesaian sengketa pajak pertambahan nilai melalui Pengadilan Pajak memberi kepastian hukum bagi wajib pajak? Kedua apakah pengaturan penyelesaian sengketa pajak pertambahan nilai melalui Pengadilan Pajak memberi keadilan bagi wajib pajak? Penelitian ini dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif dengan beberapa pendekatan yakni : pendekatan Undang-undang, pendekatan kasus, dan pendekatan konsep. Pembahasan atas kedua permasalahan di atas didasarkan pada norma hukum yang berlaku sesuai dengan wewenang siapa pemungutan pajak pada jenis Pajak Pertambahan Nilai. Pendekatan kasus dilakukan dengan menganalisis putusan-putusan Pengadilan Pajak yang berdimensi penormaan kepastian dan keadilan dalam praktek hukum. Pendekatan konsep digunakan untuk mencari makna atau pengertian dari bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan permasalahan hukum dalam penelitian ini. Adapun teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis adalah teori negara hukum, teori keadilan, teori kepastian hukum, teori kewenangan, teori pemungutan pajak daya pikul dan daya beli, konsep subjek pajak, pengusaha kena pajak, bukan pengusaha kena pajak, objek pajak. Kesimpulan dari penelitian ini adalah secara teoritis, pengaturan penyelesaian sengketa Pajak Pertambahan Nilai melalui Pengadilan Pajak dijumpai adanya konflik norma, namun demikian kelemahan tersebut dalam praktek terselesaikan oleh ketentuan Undang-undang Pengadilan Pajak, seperti terkait berbagai persyaratan yang ditetapkan bagi hakim yang profesional, berwibawa dan mempunyai keahlian di bidang perpajakan menghasilkan putusan Pengadilan Pajak yang menjamin kepastian hukum. Demikian pula penetapan putusan Pengadilan Pajak sebagai putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 77 ayat (1)) dengan tetap memberikan jaminan perlindungan hukum berupa hak kepada wajib pajak menempuh upaya peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (Pasal 77 ayat (2)). Pengaturan penyelesaian sengketa Pajak Pertambahan Nilai memberi keadilan bagi wajib pajak, karena diputus oleh hakim Pengadilan Pajak yang mempunyai keahlian di bidang perpajakan, professional dan berintegritas. Sementara itu wajib pajak mulai dari proses pemeriksaan diberi hak menyatakan setuju/tidak setuju saat diadakan clossing conference dan berhak mengajukan keberatan serta banding ke Pengadilan Pajak sampai upaya hukum peninjauan kembali ke Mahkah Agung. Pada pihak lain, semua putusan yang diberikan oleh Pengadilan Pajak disertai dengan irah-irah `„DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MASA ESA`, yang juga dijumpai pada Keputusan fiskus tentang Surat Paksa, sehingga keadilan tidak saja diperoleh pada tingkat banding tetapi wajib pajak juga bisa mendapatkannya dari fiskus