Otonomi Desa Pakraman dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Provinsi Bali

Dinamika politik hukum pemerintahan desa terus berubah-ubah dan menunjukkan inkonsistensi dalam berbagai kebijakan. Pemerintahan desa diposisikan untuk melayani kepentingan `kekuasaan` dari pada `subjek` demokratisasi, pelayanan publik dan pemberdayaan masyarakat. Marjinalisasi, peminggiran, ketidakadilan tercermin dari rendahnya alokasi anggaran pemberdayaan masyarakat desa dan rendahnya atensi pemepintah terhadap berbagai problema yang membelenggunya. Desa sebagai bentuk pemerintahan terdepan yang memiliki posisi strategis tersebut ditempatkan sebagai objek dari pada subjek. Kondisi ini kemudian semakin dilematis berkenaan dengan kurangnya pemahaman elit pengambil kebijakan tentang hakikat desa dilihat dari perspektif filosofis, yuridis dan sosiologis. Inkonsistensi dan ketidaksesuain pemahaman baik pada tataran asa, konsep maupun substansi yang lahir dari ketidakmampuan elit kekuasaan untuk berpikir sistematis sebagai suatu kekuatan, dan cara kerja secara inkrumental, terpecah-pecah, tidak sistematis dan ketidakpahaman ketatanegaraan tentang pemerintahan desa mengakibatkan terjadinya dilema dalam penyelenggaraan pemerintahan desa di Bali dan `hancurnya` sendi-sendi kehidupan masyarakat, adat-istiadat, sosial-budaya, ekonomi, politik (demokrasi) di desa khususnya di Bali. Pemerintahan desa di Bali dilakukan oleh dua desa, yaitu desa dinas/kelurahan dan desa pakraman . Desa dinas menjalankan fungsi administratif dari pemerintahan kabupaten/kota dan desa pakraman atau sebelumnya disebutkan desa adat, menjalankan fungsi sosial, ekonomi, keagamaan, tugas pembantuan atau menjalankan tugas pemerintahan yang tidak mampu dilaksanakan oleh aparat desa dinas. Desa pakraman mendapat pijakan konstitusional dari Pasal 18B ayat (2) dan Peraturan daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman . Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat ditarik tiga permasalahan mendasar yang menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimanakah esensi desa pakraman dalam penyelenggaraan pemerintahan desa di Bali?; 2. bagaimanakah hubungan pemerintahan daerah kabupaten/kota dengan desa pakraman dalam penyelenggaraan pemerintahan desa di Bali?; 3. bagaimanakah bentuk otonomi desa pakraman dalam penyelenggaraan pemerintahan desa di Bali?. Metode penelitian yang digunakan untuk membedah dan menganalisis masalah tersebut adalah yuridis normatif, dengan pendekatan filosofis, yuridis, historis, komparatif dan konseptual dengan mempergunakan kerangka teori sebagai pisau analisis dan memperkaya pemahaman gagasan tentang otonomi Pemerintahan desa pakraman di Bali, yaitu teori negara kesatuan, teori negara hukum, teori desentralisasi, dan teori volkgeist ; sedangkan konsep living law , konsep hukum responsif, dan semi autonomous social field . Berdasarkan analisis sebagai jawaban dalam penelitian ini dapat disimpulkan, hal-hal sebagai berikut: Pertama : 1. Desa pakraman merupakan lembaga politik, ekonomi, dan sosial-budaya, masyarakat adat di Bali, yang memiliki hukumnya sendiri ( awig-awig ), tumbuh dari bawah bukan berian, yang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat secara mandiri (otonomi asli). 2. Landasan filosofis Desa Pakraman adalah Tri Hita Karana , yaitu yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan antara manusia dan manusia, untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis. 3. Landasan sosiologis Desa pakraman marupakan tatanan yang bersifat khas, berbeda-beda ( desa kala patra , dan desa mawa cara ) antara desa pakraman yang satu dengan yang lainnya, yang mencerminkan apresiasi terhadap nilai-nilai perbedaan sebagai keniscayaan, demokratisasi dalam semangat kebersamaan yang religius magis. Karakter kekhasan tersebut merupakan manifestasi dari ajaran agama Hindu yang telah melembaga dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat sebagai penentu menjadi l pembentukan karakteristik KMHA Bali. 4. Landasan yuridis/kostitusional desa pakraman adalah Pasal 18B ayat (2) dan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman . 5. Desa pakraman , merupakan pilar budaya, ekonomi, sosial-budaya ketertiban/hukum dan pelayanan yang sosioreligius. Esensialitas pencapaian hasil dalam berbagai kasus pelaksanaan program-program pembangunan menunjukkan hasil lebih baik melalui pendekatan sosio-kultural dibandingkan melalui pen