Analisa Indeks Kekeringan dengan Metode Standardized Precipitation Index (SPI) Pada Sub DAS Widas Kabupaten Nganjuk

Perubahan iklim yang mempengaruhi datangnya musim kemarau dan musim hujan mempunyai peranan penting dalam kejadian kekeringan. Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum (Agustus 2012) dari 71 Waduk yang ada di Indonesia hanya 19 waduk saja yang debit airnya normal. 10 waduk diantaranya dalam kondisi kering sedangkan sisanya, 42 waduk dalam kondisi siaga. Begitu pun berbagai danau dan sungai di Indonesia yang debit airnya menurun. Upaya mitigasi untuk mengurangi dampak kekeringan seringkali kurang handal karena alat pendeteksi yang kurang sesuai. Diperlukan lebih banyak lagi penelitian indeks kekeringan yang dapat diberlakukan sebagai alat peringatan dini (warning system) yang dapat dimanfaatkan sebagai dasar rujukan bagi upaya mitigasi dan respon. Tujuan dari kajian ini adalah melakukan analisis untuk mengetahui tingkat kekeringan yang dapat terjadi di suatu daerah. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah Standardized Precipitation Index (SPI) yang dikembangkan oleh McKee et al pada tahun 1993. SPI didesain untuk mengetahui secara kuantitatif defisit hujan dengan berbagai skala waktu. Dalam kajian ini skala waktu yang digunakan adalah 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan. Lokasi studi berada di Sub DAS Widas Kabupaten Nganjuk dan terdiri dari 18 kecamatan. Data yang digunakan adalah data hujan bulanan selama 18 tahun (1994-2011) dari 19 stasiun hujan. Peta sebaran kekeringan didapatkan dengan metode interpolasi Inverse Distance Weighting (IDW) yang ada pada software ArcGIS 9.3. Hasil kajian menunjukkan bahwa pada SPI periode defisit 1 bulan, kekeringan terparah terjadi pada tahun 1997, 2003, dan 2007. Sedangkan SPI periode defisit 3 bulan, terjadi pada tahun 1994 dan 1997. Dan untuk SPI periode defisit 6 dan 12 bulan, kekeringan terparah terjadi pada tahun 1997. Dari peta hasil sebaran kekeringan selama 18 tahun terlihat bahwa pada SPI periode defisit 1 bulan kekeringan terparah terjadi di 2 kecamatan. Pada SPI periode defisit 3 bulan, kekeringan terparah terjadi di 5 kecamatan. Pada SPI periode defisit 6 bulan kekeringan terparah terjadi di 4 kecamatan. Dan untuk SPI periode defisit 12 bulan, kekeringan terparah terjadi di 8 kecamatan. Walaupun demikian semua kekeringan yang terjadi masih termasuk dalam kategori normal. Dari hasil kajian menunjukkan bahwa adanya keterkaitan antara kekeringan meteorologis dengan kekeringan pertanian dan kekeringan hidrologis, hal tersebut dibuktikan dengan melakukan verifikasi dengan data di lapangan